Menilik Pertimbangan Keputusan Childfree dari Dua Perspektif Berbeda
Keputusan orang tua untuk memilih childfree tentu harus dipertimbangkan dengan matang, terlebih hal tersebut tidak sejalan dengan norma nilai masyarakat Indonesia.
Aspirasionline.com – Istilah “banyak anak banyak rezeki” telah populer di Indonesia sejak dulu. Istilah inilah yang memunculkan banyaknya pasangan suami istri yang ingin memiliki jumlah anak banyak dari masa ke masa. Berbeda dengan masyarakat sekarang yang menanggapi bahwa istilah tersebut tidak lagi relevan karena faktanya, “banyak anak justru harus lebih banyak mencari rezeki”.
Seperti yang akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan di media sosial, Gita Savitri atau yang kerap dikenal sebagai Gitasav, memberikan pernyataannya terkait childfree. Influencer tanah air tersebut memutuskan untuk tidak memiliki seorang anak atau childfree. Hal ini pun menjadi perdebatan dari berbagai pihak karena banyaknya perbedaan sudut pandang, baik menentang maupun menyetujui.
Perbedaan pandangan dari seluruh lapisan masyarakat terkait konsep childfree menimbulkan berbagai kontroversi. Namun jika kita lihat lebih dekat, childfree terjadi bukan semata-mata tanpa alasan. Menurut psikolog klinis Agustina cukup banyak faktor yang memengaruhi pasangan suami dan istri memilih childfree.
“Yang pertama terkait dengan aspek ekonomi, apakah secara ekonomi pasangan yang menikah ini memang sudah mumpuni,” ujar Tina kepada ASPIRASI pada Kamis, (2/3).
Faktor ekonomi kerap menjadi permasalahan yang biasa terjadi bagi pasangan suami dan istri, apalagi bila mereka harus menghidupi anak yang memiliki banyak kebutuhan. Hal ini yang menjadi faktor seseorang memutuskan untuk childfree karena merasa akan sulit untuk menghidupi dan membesarkan anak.
Selain itu, Tina juga menyampaikan bahwa masalah lingkungan menjadi salah satu faktor pasangan suami dan istri memilih untuk childfree. Sebagai contoh, saat seorang influencer membagikan ceritanya terkait keputusan memilih childfree, hal tersebut bisa menarik penikmat kontennya untuk termotivasi melakukan hal yang sama.
“Saat ini media sosial itu sangat memengaruhi kehidupan manusia, sehingga berbagai macam informasi yang disampaikan di media sosial kadang-kadang memengaruhi cara berpikir seseorang,” ucap Tina.
Memilih Childfree adalah Wujud Idealisme Seseorang
Faktor lain yang menjadi salah satu alasan seseorang memilih childfree adalah individu itu sendiri. Tina menjelaskan hal ini dengan membawa teori Abraham Maslow terkait teori kebutuhan. Teori tersebut menjelaskan bahwa tingkat yang paling tinggi dari pemenuhan kebutuhan adalah aktualisasi diri.
“Seorang individu kan juga punya istilahnya idealisme, ‘saya ingin mencapai aktualisasi diri saya, sehingga kalau saya punya anak malah akan menghalangi saya, akhirnya saya memilih lebih baik tidak punya anak’,” kata Tina sambil memperagakan.
Jika membahas terkait cara menyikapi seseorang yang memutuskan untuk childfree, menurut Tina sendiri, memberi pertimbangan bisa diberikan kepada seseorang yang memutuskan untuk childfree.
Bukan dengan maksud untuk melarang, tetapi faktor-faktor seperti kebiasaan di negara ini yang tidak sejalan dengan konsep childfree, menurut Tina bisa menimbulkan pandangan-pandangan yang berbeda dari masyarakat.
Nantinya, kata Tina, diharapkan dengan memberikan pertimbangan kepada orang yang ingin memilih childfree bisa membuat orang tersebut mempersiapkan diri lebih matang.
“Sebenarnya terserah mereka mau pilih punya anak atau tidak, tapi ya karena masalah norma nilai yang berkembang itu sehingga ini bisa menimbulkan stigma negatif dari lingkungan, atau juga ada istilahnya mungkin jadi omongan,” ujar Tina.
Ia pun menyampaikan bahwa cara menghadapi tekanan yang ada dari masyarakat bagi seseorang yang memilih untuk childfree adalah dengan mempersiapkan diri terhadap keputusan yang ia ambil.
“Kalau misalnya mereka ini sudah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari lingkungan sekitar terkait keputusan tersebut, artinya mereka memang siap, jadi ketika ada stigma negatif mereka bisa mengantisipasinya, artinya ini tidak akan menimbulkan masalah lebih lanjut di pernikahan mereka,” tegas Tina.
Perbedaan Pemahaman Fungsi Keluarga
Putu Chandra Dewi dosen Sosiologi Universitas Indonesia memberikan pendapatnya mengenai childfree yang bisa disebabkan ada perbedaan pandangan mengenai fungsi keluarga.
Ia menjelaskan bahwa keluarga memiliki fungsi untuk reproduksi atau memiliki keturunan. Seiring perkembangan zaman, banyak orang yang menganggap keluarga tidak selalu memiliki keturunan.
Perempuan yang kerap disapa Dewi ini memberikan contoh bahwa di negara barat memiliki anak tidak selalu berhubungan dengan keluarga dan perkawinan. Mereka cenderung memiliki anak atas dasar keinginan, baik itu mengadopsi atau bahkan memiliki anak tanpa berhubungan seksual dengan cara donor sperma.
“Saya tidak bilang ini lebih bagus atau jelek, kita tidak di takaran menilai ini, tetapi ada perubahan, termasuk misalnya tentang fungsi anak di dalam keluarga, ada perubahan,” tutur Dewi saat ditemui ASPIRASI di salah satu kafe di kawasan Cinere, Jakarta, Kamis, (9/3).
Dewi mencontohkan ada perbedaan keluarga konvensional dan keluarga modern. Keluarga konvensional cenderung berpandangan bahwa anak nantinya mempunyai tugas baik itu merawat orang tua, memasak hingga membantu keluarga.
Berbeda dengan pemikiran keluarga konvensional, keluarga modern tidak melihat anak sebagai orang yang nanti akan merawatnya di masa tua. Ketika tua, mereka cenderung memilih untuk tinggal di panti jompo yang memiliki fasilitas tak kalah bagus dari hotel.
“Buat mereka itu tidak menjadi masalah, pemikiran mereka itu orientasinya pasangan, bagi mereka keluarga ya mereka berdua aja,” jelas Dewi.
Tidak Menyudutkan Pilihan Seseorang
Jika dikaitkan dengan kontroversi yang timbul di masyarakat mengenai childfree, maka tidak tepat apabila kita menyudutkan seseorang dengan pilihannya. Setiap individu memiliki pilihan dan perspektifnya masing-masing.
Menurut Dewi, mereka yang memilih childfree akan melihat dari sudut pandang berbeda dan tidak bisa dibandingkan pilihan mana yang lebih baik dan lebih buruk.
“Pilihan sebenarnya individual, tetapi kalau dari kacamata sosiologi, pilihan individu tidak seratus persen pilihan pribadi, ada kemungkinan dipengaruhi konteks lingkungan, masyarakat,” ujar Dewi.
Berkaca pada negara Jepang yang meminta warganya untuk memiliki anak karena takut akan kekurangan sumber daya manusia, Dewi menjelaskan bahwa faktor seperti biaya hidup yang tinggi membuat masyarakat Jepang lebih mengutamakan pekerjaannya dan tidak terlalu ambil pusing untuk memiliki keturunan.
Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang masih berpikir secara konvensional dengan pandangan bahwa keluarga harmonis ditandai dengan adanya keturunan.
Berdasarkan uraian tersebut, memiliki anak untuk merawat orang tua tidak menjadi alasan untuk orang yang memilih childfree tersebut. Mereka hanya memikirkan bagaimana bekerja dengan baik hingga mencapai hidup sejahtera di masa tua.
“Kalau sudah pensiun santai, sudah deposito, sudah bayar bunga, buat mereka itu tidak menjadi masalah,” tutup Dewi sembari melahap santapan makan siangnya.
Ilustrasi: Agnes Felicia
Penulis: Agnes Felicia, Alya Putri | Editor: Daffa Almaas.