Negara Libur Panjang, Akses ke Pendidikan Tinggi Macet Total

Opini

Akses terhadap pendidikan masih macet total hingga hari ini. Padahal, keterbukaan akses adalah hal terpenting untuk mencapai tujuan utama negara, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Aspirasionline.com – Pengetahuan memang tidak melulu soal pendidikan formal di sekolah ataupun di kampus. Kita bisa belajar melalui banyak hal, seperti buku, pengalaman, bahkan kegagalan. Namun kembali lagi, meski kita bisa belajar dari banyak hal, bukan berarti akses terhadap pendidikan formal tidak menjadi hal yang penting.

Akses terhadap pendidikan sudah seharusnya dijamin oleh negara sebagaimana dapat kita baca dalam Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memiliki makna bahwa pendidikan adalah hak dari tiap-tiap warga negara. Bahkan, terkhusus untuk pendidikan dasar, pemerintah wajib membiayainya. Namun, seperti sudah menjadi budaya yang mengakar, law in action akan berbanding terbalik dengan law in book.

Beberapa dari kita mungkin sudah pernah membaca karya sastra dari Andrea Hirata yang cukup melegenda, Laskar Pelangi. Potret kehidupan masyarakat di Belitong dituliskan dengan sangat baik oleh sang novelis, termasuk pula permasalahan pendidikan di sana. Lintang, menjadi potret yang sempurna untuk permasalahan tersebut.

Lintang kecil adalah siswa yang sangat berprestasi, jagoan olimpiade. Dengan kata lain, ia jenius. Namun, mimpinya harus ia kubur sendiri dengan sukarela. Setelah ayahnya meninggal dunia Lintang harus menjadi tulang punggung keluarganya, menggantikan ayahnya. Kemudian dengan terpaksa, ia harus meninggalkan sekolah dan juga mimpi besarnya.

Apa yang terjadi pada Lintang besar kemungkinan terjadi pada kawan-kawan di sekitar kita. Ada banyak Lintang lainnya yang berjuang di luar sana. Demi mimpi mereka, demi pendidikan yang lebih tinggi. Berjuang sendiri, tanpa bantuan negara. Karena saat negara dibutuhkan, ia malah menghilang.

Lalu bagaimana dengan kewajiban pendanaan biaya pendidikan tinggi? Negara memang tidak memiliki kewajiban penuh terhadap penyelenggaraannya. Negara mungkin berdalih sudah berusaha menyediakan banyak beasiswa untuk membantu, tapi apa itu cukup? Jika memang pemuda adalah masa depan bangsa, kenapa akses terhadap pendidikan tinggi tidak dibuka lebih besar lagi? Apa masa depan bangsa hanya ada di tangan pemuda-pemuda kaya?

Biaya pendidikan tinggi nyatanya sangat tinggi, atau mungkin lebih tinggi dari kualitas pendidikannya sendiri. Kualitasnya masih banyak yang belum baik, tetapi biayanya kian hari kian naik. Belum lagi jika berbicara soal komersialisasi pendidikan, Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) telah menjadi permasalahan baru lagi.

Belum lagi ketika universitas nanti berubah lagi bentuknya menjadi PTN Badan Hukum (PTN-BH). Kampus diminta menghidupi dirinya sendiri, yang pada akhirnya mengorbankan mahasiswa. Kenaikan harga Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga kehadiran uang pangkal menjadi contohnya.

Bahkan, permasalahan ini telah sampai di tahap yang mengkhawatirkan. Ketika perputaran uang dilaksanakan oleh kampus sendiri secara mandiri, kampus mengonsepkan mahasiswa sebagai aset. Dan kemudian menahbiskan diri mereka sendiri jadi perusahaan yang berorientasi pada profit. Mencari untung dari mahasiswanya.

Beberapa hari ke belakang kita mungkin juga dikagetkan dengan apa yang terjadi pada kawan mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sedih rasanya, perih pula. Terbesit pertanyaan, apakah memang sesulit ini menjadi pandai di negeri sendiri? Katanya rajin pangkal pandai, nyatanya rajin dan banyak uang pangkal pandai.

Terlepas dari benar atau tidaknya penyebab kematian kawan kita di UNY, permasalahan terkait UKT masih menjadi permasalahan nyata yang dihadapi banyak mahasiswa. Akses terhadap pendidikan tinggi dibatasi oleh kemampuan ekonomi yang kita punya. Kapasitas dan kapabilitas kita pada kenyataannya masih belum cukup untuk menjadi jembatan mencapai pendidikan tinggi.

Negara tidak serius dalam mengatasi permasalahan ini dan malah memperburuknya dengan melakukan komersialisasi pendidikan. Tidak ada kampus yang merdeka, program kampus merdeka hanya jadi jargon semata. Kita tidak sepenuhnya merdeka jika akses kita ke pendidikan tinggi macet total. Negara sekali lagi gagal memahami permasalahan mendasar semacam ini.

Bukan menggunakan mata, melainkan negara seringkali menggunakan teropong untuk melihat permasalahan di dirinya sendiri. Terlalu jauh masalah yang mereka lihat hingga tak terjamah permasalahan yang ada di dekatnya.

Mas Menteri terlalu obsesif dengan digitalisasi pendidikan dan melewatkan bagian terpenting dari pendidikan itu sendiri, yaitu akses. Hal yang sebetulnya sangat sederhana untuk diwujudkan, tetapi sering terlihat begitu kompleks untuk realisasinya.  Sekolah gratis dalam bentuk wajib belajar dua belas tahun serta pendidikan tinggi dengan biaya yang murah dan terjangkau dalam terminologi masyarakat ekonomi lemah, bukan dalam terminologi para pebisnis.

Pada akhirnya, kita mesti memperjuangkan hak kita sendiri, yang seharusnya diberikan oleh negara. Sembari kita tetap merawat dan menyuarakan terus isu ini. Tidak hanya saat jelang hari pembayaran UKT, Hari Pendidikan Nasional, atau ketika kita mendengar cerita pilu dari gagalnya negara memberikan akses layak bagi rakyatnya untuk menempuh pendidikan tinggi.

 

Ilustrasi: Natasya Anggareni.

Penulis: Vedro Imanuel, mahasiswa Fakultas Hukum semester 6, UPNVJ.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *