Penggunaan Lie Detector Sebagai Alat Bukti Pendukung Dalam Perkara Pidana
Lie detector digunakan sebagai sarana pendukung untuk mendapatkan kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana. Namun, penggunaan alat ini masih diragukan keabsahannya karena ketiadaan regulasi dalam pelaksanaanya.
Aspirasionline.com – Perkembangan teknologi yang modern mengubah segala aspek kehidupan manusia. Perubahan ini tidak hanya terjadi dalam pola kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, tetapi juga sistem penegakan hukum.
Dalam mencari suatu kebenaran materiil, diperlukan keterangan secara jujur dari tersangka maupun saksi dalam penegakan hukum suatu perkara pidana. Dukungan ilmu-ilmu lain seperti psikologi forensik memiliki peran penting pada proses penegakan hukum di Indonesia. Salah satu metode baru yang digunakan adalah penggunaan lie detector.
Lie detector atau alat pendeteksi kebohongan merupakan sebuah mesin poligraf yang berupa sensor untuk mengukur, menganalisis, serta mencatat perubahan respon fisiologis tubuh manusia. Seperti detak jantung, tekanan darah, keringat dan respon fisiologis lainnya.
Praktik penggunaan lie detector dipakai untuk membantu penyidikan yang dilakukan penyidik dalam suatu perkara pidana. Penyidik mengajukan beberapa pertanyaan terhadap tersangka maupun saksi, yang nantinya jawaban dari para tersangka dapat dinilai validitasnya melalui respon tubuh mereka dengan memakai lie detector.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Bambang Waluyo menilai bahwa penggunaan lie detector dianggap sebagai alat bantu bagi penegak hukum untuk mendapatkan keterangan yang benar.
“Alat bantu untuk penegak hukum untuk mencari atau mendapatkan keterangan yang benar, dalam pengertian untuk melihat bahwa yang disampaikan itu adalah hal yang jujur, yang tidak ada kebohongan,” ujar Bambang kepada ASPIRASI pada Kamis, (25/11).
Senada dengan Bambang, Muhammad Fadhil Alfathan, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) mengatakan bahwa penggunaan lie detector sebagai alat bantu merupakan perkembangan teknik penyidikan. Dalam hal ini bagian dari scientific crime investigation.
Namun Fadhil melanjutkan, penggunaan lie detector sebagai alat bantu tidak dapat membuktikan terkait dengan suatu peristiwa pidana. “(Lie detector, red.) nggak membuktikan apa-apa, cuma ingin mengkonfirmasi, betul atau tidak keterangannya,” tutur Fadhil pada Jumat, (09/12) melalui Zoom Meeting.
Keabsahan Hasil Pemeriksaan Lie Detector
Penggunaan lie detector dalam perkara pidana masih diragukan hasil keabsahannya. Respon fisiologis bagi pemakai lie detector ini tidak dapat dipastikan secara mutlak bahwa seorang tersangka terindikasi sedang berbohong atau tidak.
Fadhil menuturkan bahwa hasil pemeriksaan lie detector bergantung pada kondisi fisik dan psikis tersangka atau saksi yang melakukan uji lie detector.
“Dia (lie detector, red.) ‘kan melihat atau merekam aktivitas fisiologis seperti tadi disampaikan, entah itu denyut jantung, entah itu laju pernafasan, entah itu aktivitas electrothermal. Itu ‘kan sangat-sangat dipengaruhi,” jelasnya.
Hal lain yang menarik adalah, menurut Fadhil lie detector bahkan tidak dapat memastikan seseorang yang diperiksa tersebut berbohong atau tidak. Kesimpulan yang didapat hanya sekadar indikasi berbohong.
“Tidak secara tegas, jadi dia (lie detector, red.) cuman bilang menyimpulkan bahwa pernyataan tersangka itu terindikasi bohong,”
Hal serupa juga disampaikan oleh Bambang yang berpendapat bahwa keabsahan hasil pemeriksaan lie detector tergantung pada orang yang mengoperasionalkannya, karena integritas penguji dapat mendorong tersangka atau saksi dalam mengungkap kebenaran.
“Jangan sampai tadi yang membaca itu (alat uji lie detector, red.), karena integritasnya diragukan, kecenderungannya bisa dimanipulasi,” ujar Bambang.
Regulasi Alat Uji Lie Detector Sebagai Bukti
Banyak ahli yang menjamin kalau akurasi dari lie detector dapat mencapai 90 persen. Namun dalam praktiknya di Indonesia belum ada aturan hukum yang mengatur penggunaan Lie Detector dalam perkara pidana.
Meskipun aturan mengenai penggunaan lie detector ini belum ada, tetapi penggunaan lie detector dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal tersebut terdapat lima macam alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Fadhil menuturkan pada tahun 2014, LBH Jakarta pernah menangani kasus yang menggunakan uji lie detector terhadap tersangka sebagai alat bukti di persidangan. Hasil dari uji lie detector tersebut dituangkan dalam berita acara pemeriksaan laboratorium forensik, kemudian dilampirkan dan diakui sebagai alat bukti surat dalam pertimbangan hakim.
Lebih lanjut, Fadhil mengatakan pada kasus lain bahwa lie detector diakui sebagai alat bukti keterangan ahli. Hasil pemeriksaan lie detector tersebut dibacakan oleh ahli psikologis dalam persidangan.
“Jadi setidaknya dalam praktik peradilan pidana kita, walaupun tidak secara tegas diatur dalam ketentuan hukum acara pidana, dalam praktik dia (lie detector, red) diakui sebagai alat bukti baik surat maupun keterangan ahli. Ini konsekuensi ya, perbedaan pandangan ini konsekuensi dari ketentuan hukum yang memang tidak secara tegas mengakui,” ujar Fadhil.
Oleh karena itu, perlu adanya penyempurnaan terhadap penggunaan lie detector dalam perkara pidana. Baik itu dari segi aturan hukum maupun standar operasional prosedur dalam praktiknya agar penggunaan lie detector dapat berjalan secara optimal, efektif, dan efisien.
Foto: Google
Reporter: Anggita, Mg. | Editor: Daffa Almaas.