Pembenahan Sistem Pendidikan di Indonesia Dalam Menanggulangi Kasus Suap-Menyuap
Terkuaknya kasus suap-menyuap masuk perguruan tinggi negeri melalui seleksi mandiri yang terjadi di salah satu universitas di Indonesia menimbulkan perdebatan terkait masih relevankah proses seleksi tersebut, serta bagaimana sistem pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi.
Aspirasionline.com — Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan digemparkan dengan terkuaknya kasus suap-menyuap pada Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat orang tersangka praktik suap-menyuap dan gratifikasi dalam penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Universitas Lampung tahun ini. Di antaranya adalah Rektor Karomani, Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, Ketua Senat Muhammad Basri, dan pihak swasta Andi Desfiandi.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), proses seleksi masuk perguruan tinggi negeri terbagi menjadi tiga jalur, yaitu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan Seleksi Mandiri.
Jika proses seleksi SNMPTN dan SBMPTN dilakukan secara serentak dan memiliki komponen penilaian yang sama, pada proses seleksi mandiri seluruh rangkaian diselenggarakan dan dikelola langsung oleh masing-masing universitas.
Kebijakan pada seleksi mandiri inilah yang menyebabkan adanya celah bagi orang-orang tidak bertanggung jawab dengan cara menetapkan biaya pendaftaran atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sangat tinggi.
Berdasarkan dugaan KPK, Karomani dan beberapa pejabat kampus terlibat langsung dalam proses seleksi tersebut. Ia disebut mematok tarif sekitar serratus hingga tiga ratus lima puluh juta rupiah per mahasiswa yang ingin lolos seleksi mandiri. Pada saat penangkapan, total uang yang diterimanya telah mencapai lima miliar dan telah digunakan sebagian untuk kebutuhan pribadinya.
Kurangnya Integritas Pada Seleksi Mandiri
Alfisyah Salwa, mahasiswi Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia berpendapat bahwa kasus suap-menyuap masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia bukan merupakan suatu hal yang baru.
“Terkadang ketika dua jalur tersebut (SNMPTN dan SBMPTN, red) tidak bisa mereka lewati, para mahasiswa mengusahakan diri untuk bisa masuk lewat seleksi mandiri sebagai jalan terakhir untuk bisa mendaftar di prodi dan perguruan tinggi impiannya,” ujarnya kepada ASPIRASI pada Jumat (26/8).
Hal ini juga disampaikan oleh Darmaningtyas, pengamat pendidikan di Indonesia, yang berpendapat bahwa praktik suap-menyuap pada seleksi mandiri sudah lama terjadi, namun tidak pernah ada proses transparansi dari pihak perguruan tinggi ke publik.
“Ketika sistemnya tidak transparan seperti itu, maka ya tentu sogok-menyogok, korupsi, itu sangat terbuka lebar. ‘Kan nggak ada mekanisme kontrolnya,” ucap Darmaningtyas pada Senin (5/9).
Pernyataan Darmaningtyas juga didukung oleh Indra Charismiadji, praktisi dan pengamat pendidikan di Indonesia, bahwa kasus terkait seleksi penerimaan siswa baru sudah menjadi rahasia umum.
“Sistem pendidikan nasional kita yang punya problem besar karena tidak berujung ke mencerdaskan kehidupan bangsa … Sistem pendidikannya harus diubah, kita runtuhkan, lalu kita bangun yang baru, yang berujung ke mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Indra.
Savinka Putri Andini, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, berpendapat bahwa seleksi mandiri menjadi tidak memaksimalkan kuota pada seleksi bersama dan membuka lebar celah korupsi.
“Padahal dengan banyaknya mahasiswa jalur uang justru malah nurunin kualitasnya (kualitas universitas, red),” ujar Savinka kepada ASPIRASI pada Minggu (11/9).
Perlunya Pembenahan Sistem Pendidikan
Adanya kasus suap-menyuap ini membuktikan bahwa hingga saat ini kampus masih belum merdeka dari korupsi. Alih-alih menjadi pencetak pionir bangsa, kampus justru ikut serta dalam mencetak calon koruptor.
Melalui kasus tersebut, perlu adanya pemahaman bagi masyarakat bahwa esensi pendidikan bukan hanya mencari jalan pintas untuk dapat masuk dan mengejar gelar, tetapi juga mengaplikasikannya ke dalam kehidupan.
“Kuliah itu persiapan untuk menghadapi dunia nyata, tapi kalo masuknya aja sudah nyogok, keluarnya pasti nyogok juga. Jadi, apa yang didapatkan selama kuliah? kan nggak ada,” ujar Indra.
Pasalnya, permasalahan korupsi pada lingkungan pendidikan nantinya akan berdampak pada individu yang dihasilkan, dimana individu inilah yang akan menjadi penerus bangsa nantinya.
Menanggapi soal sistem pendidikan di Indonesia saat ini, Indra berpendapat bahwa problematika yang terjadi tidak dapat hanya diselesaikan secara mikro saja, melainkan perlu dibenahi dari dasarnya. Sistem pendidikan di Indonesia saat ini sudah tidak sesuai dengan visi misi dan tujuan pendidikan yang tercantum pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal itu dikarenakan orang yang berbondong-bondong menempuh pendidikan perkuliahan, bertujuan hanya mengejar gelarnya saja tanpa memahami dan mendalami apa arti dari pendidikan itu sendiri.
Indra juga berpendapat bahwa banyaknya orang yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan kuliahnya disebabkan oleh sistem pendidikan yang ada sekarang.
“Untuk membangun negara kita yang tujuh belas ribu pulau kita butuh SDM (sumber daya manusia, red.) yang mumpuni, tapi sekarang kita belum ada mapping-nya. Jadi kita nggak pernah tau butuh tenaga di bidang apa, berapa banyak, tempatnya dimana,” ungkap Indra.
Selain itu, pembenahan pada regulasi dan sistem birokrasi harus dibentuk dengan baik dan rapi sehingga meminimalisir terjadinya kelalaian seperti pada kasus di atas.
Foto: Google.
Reporter: Daffa Almaas. | Editor: Marsya Aulia.