Arogansi dan Intimidasi dalam Pasal Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan UU ITE
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lagi-lagi menimbulkan permasalahan. Beberapa waktu lalu, seorang pegawai Alfamart mendapat ancaman pelaporan lewat pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.
Aspirasionline.com – Pasal karet dalam UU ITE kembali memakan korban. Beberapa waktu lalu, sebuah video viral tersebar di media sosial. Video tersebut menampilkan seorang ibu yang ketahuan mencuri coklat di salah satu gerai Alfamart.
Dalam video tersebut, terlihat seorang pegawai Alfamart mencegah seorang ibu yang hendak pergi tersebut. Namun setelah viralnya video rekaman tersebut, pelaku justru mengancam balik akan melaporkan pegawai Alfamart ke polisi dengan dalih UU ITE.
Hal ini kemudian memancing reaksi masyarakat, yang kebanyakan jengkel dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Apalagi setelah mengetahui bahwa pihak pelaku malah menyewa pengacara dan juga memaksa pegawai Alfamart tersebut untuk membacakan surat permintaan maaf.
Eka Nanda Ravizki, dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur sekaligus periset di Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada menyatakan bahwa langkah pelaporan balik yang dilakukan oleh pelaku tidak tepat. Hal itu dikarenakan kegiatan perekaman dilakukan dalam rangka pembuktian, tanpa ada maksud penghinaan.
“Rekaman itu tujuannya untuk itu tadi sebagai alat bukti,” jelas Eka pada ASPIRASI, Senin (22/08) lalu.
Eka juga menambahkan, secara hukum adanya pelaporan tersebut sah-sah saja karena merupakan pasal delik aduan. Namun perlu dilihat muatan konten dalam video tersebut, terkhusus terkait batasan-batasan terkait pencemaran nama baik dan penghinaan dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut.
Batasan-batasan yang dimaksud oleh Eka tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam UU ITE. Bahwa tidak menjadi delik pidana jika muatan konten berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau suatu kenyatan.
“Yang ditampilkan oleh mbak Alfamart itu kan sebuah kenyataan tanpa diedit, jadi secara tidak langsung gugatan atau aduan dari ibu-ibu dan lawyernya tadi (seharusnya, red.) tidak akan ditindak lagi,” terang Eka melanjutkan dalam sambungan telepon kala itu.
Potensi Arogansi dan Intimidasi dalam UU ITE
Kejadian yang menimpa salah satu pegawai Alfamart beberapa waktu lalu seperti mengulang kejadian buruk yang berkaitan dengan UU ITE. Telah banyak terjadi ancaman dan kriminalisasi yang dilakukan dengan menjadikan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE sebagai senjata.
Kebanyakan pelaku yang menyalahgunakan UU ITE tersebut juga memiliki keuntungan relasi kuasa dibanding korbannya. Hal itulah yang membuat adanya kesan arogansi dan intimidasi dalam UU ITE, terkhusus pasal 27 ayat 3.
Nenden Sekar Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi (Freedom of Expression) Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyatakan bahwa keberadaan UU ITE memang sudah sering disalahgunakan sedari dulu. Yang menurutnya merupakan suatu praktik opresi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
“Dilihat dari tren, UU ITE memang kerap dijadikan alat untuk mengintimidasi pihak-pihak yang tidak punya kuasa. Pasal-pasal bermasalah yang ada di dalamnya (UU ITE, red.) pun terbukti digunakan untuk mengkriminalisasi orang-orang,” jawab Nenden kepada ASPIRASI pada Rabu, (24/08).
Nenden melanjutkan, banyaknya kriminalisasi yang terjadi yang berkaitan dengan UU ITE dikarenakan sifat multitafsir yang ada UU ITE tersebut. “Sudah jelas-jelas bahwa UU ITE memiliki banyak masalah karena substansinya di pasal-pasal multitafsir,” tegasnya.
Sejalan dengan Nenden, Eka juga memandang banyaknya penyalahgunaan khususnya pada pasal 27 ayat 3 UU ITE disebabkan oleh subjektifitas yang terkandung dalam pasal tersebut. Ia menerangkan bahwa tidak adanya batasan yang pasti, membuat pasal tersebut menjadi karet.
“Ukurannya (pencemaran nama baik dan penghinaan, red.) itu kan sangat subjektif sekali, sangat-sangat sering digunakan sebagai pasal karet untuk mengintimidasi orang-orang,” tutur Eka.
Urgensi dalam Merevisi UU ITE
Masih banyaknya terjadi ancaman maupun intimidasi berkaitan dengan UU ITE membuat banyak pihak menganggap diperlukannya sebuah revisi. Terutama untuk pasal-pasal yang sedari dulu telah bermasalah.
“Satu-satunya cara untuk menekan penyalahgunaan (UU ITE, red.) adalah dengan merevisi pasal-pasal bermasalah,” tegas Nenden.
Hal tersebut juga kurang lebih senada dengan apa yang diungkapkan oleh Eka. Ia beranggapan perlu ada revisi untuk mengatur batasan-batasan pasti bagi pasal-pasal yang multitafsir yang ada dalam UU ITE.
“Undang-Undang ITE direvisi kemudian diperketat lagi pengaturan-pengaturan batasan-batasan terhadap kasus-kasus pencemaran nama baik atau penghinaan,” jelas Eka.
Ia bahkan menyarankan bahwa SKB terkait pedoman implementasi terhadap UU ITE, terkhusus terkait pasal 27 ayat 3 untuk ikut dimasukkan sebagai salah satu bahan revisi. Hal ini mengingat sifat dari SKB sendiri yang menurutnya masih belum terlalu mengikat.
“Konten pengaturan yang ada di dalam SKB itu harusnya dimasukkan dalam UU ITE,” lanjutnya.
Revisi terkait UU ITE sendiri dianggap penting melihat pelaksanaannya yang sudah tidak lagi terfokus pada tujuan awalnya, yaitu perlindungan pengguna. Revisi UU ITE menurut Nenden diperlukan untuk mengembalikan fokus UU ITE pada tujuan awalnya.
“UU ITE sebaiknya memang membahas masalah kejahatan siber yang jelas merugikan pengguna, bukan membatasi ekspresi di media sosial,” tutup Nenden.
Reporter : Vedro Imanuel. | Editor : Adhiva Windra.