Angkat Tema Kekerasan Seksual Pada Lagunya, Amigdala Langgengkan Kekerasan Seksual di Tubuhnya

Resensi

Judul: Belenggu

Penyanyi: Amigdala

Produser: Dzikri Maulana dan Amigdala

Penulis Lirik: Aya Canina

Tahun: 2020

Durasi: 4 Menit 49 detik

Terimpretasi dari kisah seorang perempuan yang dilecehkan keluarganya, Amigdala populerkan lagu Belenggu yang sebenarnya tidak berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan.

Aspirasionline.com – Lagu Belenggu merupakan bagian dari album mini atau extended play (EP) Balada Puan yang dipopulerkan oleh grup band asal Bandung beraliran folk-pop, Amigdala. Lagu yang mengusung genre alternatif/indie ini dirilis pada tahun 2020, yang kemudian disusul oleh musik videonya pada tanggal 21 Maret 2022.

Menurut klaim yang diungkapkan langsung oleh salah seorang personel band Amigdala saat perilisan video musik Belenggu. Inspirasi lagu tersebut diambil dari keresahan seorang perempuan, teman band Amigdala yang merupakan penyintas pelecehan seksual di lingkungan keluarganya.

Namun, Aya Canina atau akrab dipanggil Aya, membantah penafsiran dari lagu ‘Belenggu’. Lewat unggahan cerita Instagram di akunnya @ayacanina, perempuan kelahiran 22 Januari 1995 tersebut menuliskan bahwa ‘Belenggu’ tidak memiliki kaitan apapun dengan kekerasan terhadap perempuan.

“Saya menulis lirik lagu Belenggu dan lagu itu sama sekali tidak ada kaitanya dengan kekerasan terhadap perempuan,” tulis mantan vokalis Amigdala tersebut dalam cerita Instagramnya pada Kamis, (10/02) lalu.

Menanggapi hal tersebut, Amigdala beranggapan bahwa mereka mempunyai hak secara utuh untuk menentukan interpretasi lagu Belenggu dari video musik yang beberapa waktu lalu dirilis. Karena itu, Amigdala merasa tidak perlu meminta izin Aya, selaku penulis lagu.

“Kami beranggapan memiliki hak secara keutuhan lagu, sehingga kami merasa berhak menentukan interpretasi untuk video musik. Sehingga pada saat itu kami tidak mengindahkan soal meminta izin terhadap penulis lirik. Aya Canina,” tulis Amigdala dalam pernyataan sikap yang diunggah melalui akun resmi instagram @musikamigdala pada hari yang sama.

Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Ada

Aya sendiri merasa ironis atas pengangkatan isu kekerasan seksual. Pasalnya selama menjadi personel band Amigdala, ia justru mengalami kekerasan seksual di dalam band tersebut oleh mantan kekasih yang juga merupakan salah satu personelnya.

Hal tersebut dibenarkan langsung oleh pihak Amigdala. Dalam pernyataan sikapnya, Amigdala memberikan klarifikasi pengakuan bahwa kekerasan seksual di tubuhnya benar adanya.

“Kami mengakui adanya kesadaran yang luput dengan mengangkat MV Belenggu berdasarkan kekerasan seksual yang diangkat dari kisah salah seorang teman kami, sementara terjadi kekerasan seksual dalam tubuh kami sendiri pada masa tertentu,” tulis Amigdala dalam unggahannya.

Pihak Amigdala juga mengakui bahwa terjadinya pelecehan pada bandnya merupakan kesalahan mereka yang telah abai dengan kasus yang dialami Aya. Mereka kemudian berkomitmen untuk belajar dari kesalahan tersebut dan berpihak secara serius atas hak-hak penyintas.

“Kami mengakui bahwa kami telah abai dan membiarkan kekerasan terjadi sekian lama dalam tubuh kami, maka dari itu kami berkomitmen untuk belajar dan menyikapi kasus kekerasan seksual secara serius dan mengutamakan pemenuhan hak-hak penyintas,” tulis Amigdala pada slide terakhir unggahannya.

Pentingnya UU TPKS dan Dukungan Lingkungan Bagi Penyintas Kekerasan Seksual

Menjadi penyintas yang berani melapor tidaklah mudah. Selain karena adanya ancaman Undang-Undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik (UU ITE), apabila korban speak up di media sosial. Ada kemungkinan lingkungan sekitar pun sangat mungkin tidak mendukung atau bahkan menyalahkan korban.

Kasus kekerasan seksual merupakan hal yang kompleks. Jika melihat survei Kemendikbudristek di tahun 2020, sekitar 63% korban kekerasan seksual ternyata enggan untuk melaporkan kasusnya. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan hukum dan sosial yang lebih luas yang dapat melindungi dan mendukung para penyintas kekerasan seksual.

Dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tentu saja menjadi langkah komprehensif bagi penyintas kekerasan seksual. Sehingga, tidak hanya tindakan hukum yang ditekankan kepada para pelaku, tetapi juga penekanan proses pemulihan bagi penyintas.

Selain itu, produk hukum tersebut juga diharapkan akan dapat mengakomodir pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual sebagai tindak pidana. Tidak hanya bentuk seperti perkosaan.

Di samping itu, perlu adanya budaya dari masyarakat yang lebih berpihak pada korban. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan rasa perlindungan terhadap korban, bukan malah menyalahkan korban kekerasan seksual dengan alasan yang tidak masuk akal seperti cara berpakaian, gaya hidup dan faktor-faktor lainnya.

Penulis : Verena Nisa. | Editor : Vedro Imanuel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *