Pemberitaan Kekerasan Seksual, LPM Institut Alami Intimidasi
Intimidasi seakan menjadi asupan yang harus ditelan mentah-mentah bagi pers mahasiswa. Seperti yang dialami oleh awak redaksi LPM Institut saat mengangkat kasus kekerasan seksual di lingkungan kampusnya.
Aspirasionline.com — Lagi dan lagi, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) kembali menerima intimidasi saat mengungkap kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Masih segar di ingatan kasus pemukulan yang dialami oleh dua reporter LPM Lintas pada pertengahan Mei lalu, kini intimidasi kembali didapat oleh rekan LPM Institut.
Intimidasi tersebut berawal dari sebuah berita yang diterbitkan pada Senin, (18/4) oleh LPM Institut yang berjudul ‘Dosa Besar Senior Predator Seks’. Salah satu pihak organisasi Kelompok Pecinta Alam (KPA) yang namanya tercantum dalam tulisan tersebut merasa keberatan dan memaksa agar tulisan tersebut diturunkan saat itu juga.
Pihak redaksi LPM Institut, seperti yang dilansir dalam rilis persnya, mengakui kesalahan mereka. Tim redaksi mengakui ada tahap peliputan yang terlewat, yaitu tidak adanya verifikasi dan konfirmasi lebih lanjut ke pihak terkait.
Mereka kemudian menawarkan adanya hak jawab kepada pihak yang merasa dirugikan. Keesokan harinya setelah penerbitan berita tersebut, pihak LPM Institut juga mengagendakan pertemuan dengan pihak organisasi terkait.
Pihak LPM Institut mengaku bahwa pihaknya sudah meminta maaf kepada pihak terkait karena tidak melakukan konfirmasi terlebih dahulu.
“Kita tidak menyebutkan nama (pelaku, red.), tapi tidak konfirmasi. Untuk fakta, kami sudah ada data yang valid dan kita menyimpan bukti-buktinya,” ujar salah satu pengurus LPM Institut kepada Reporter Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) pada Jumat, (29/4).
Namun, hal yang sangat disayangkan malah terjadi. Saat agenda pertemuan negosiasi hak jawab di Gedung Student Center (SC) lantai 3 ruang 307 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pihak LPM Institut malah mendapat intimidasi.
Pihaknya mengaku bahwa beberapa senior atau alumni dari organisasi terkait mulai memberikan ancaman kepada pihak LPM Institut. Ia menuturkan saat ia memberikan keterangan, ucapannya selalu dipotong dan mendapat bentakan dari senior organisasi terkait.
“Bahkan dibilang aku tidak punya hati nurani karena memberitakan kekerasan seksual ini. Aku dianggap orang yang menyebarkan aib saudara sendiri,” terang pihak LPM Institut pada Jumat, (29/4).
Salah satu pengurus LPM Institut juga sempat menyebutkan beberapa kalimat intimidasi lain yang ia terima saat itu. Sebut saja seperti ‘Jangan nyari popularitas dengan cara seperti ini, Allah ga akan ridho’, ‘Lihat risiko yang kamu ambil, nanti kalo ada anak KPA merusak sekretariat ini, saya tidak bisa nanggung’, dan ‘Saya sumpahin kalian semua ga lulus’.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, mengaku memang ada laporan dari LPM Institut pada Selasa sore, (19/4). Merespon tindakan yang dilakukan KPA, Ade menerangkan bahwa pihak LBH Pers melakukan langkah dengan merespon cepat hal tersebut untuk menjaga keselamatan para anggota LPM Institut.
Sebagai langkah awal, Ade memeriksa ulang naskah berita tersebut untuk menghindari pelanggaran kode etik dan menjalankan aspek hukumnya. Selajutnya, ia menghubungi pihak yang berafiliasi dengan organisasi terkait untuk mempermudah tahap mediasi lanjutan.
“Karena sudah telanjur terbit, solusinya ialah minta hak jawab dari mereka atau teman-teman LPM Institut melakukan wawancara ke Arkadia. Tapi ternyata yang teman-teman LPM Institut dapatkan itu intimidasi untuk take down. Jadi ditekan agar beritanya diturunkan,” jelas Ade saat diwawancarai Reporter FPMJ pada Sabtu, (30/4).
Intimidasi Masih Belum Berhenti
Akibat banyaknya kalimat intimidasi yang diterima, pihak LPM Institut akhirnya memutuskan untuk melakukan take down terhadap berita terkait. Namun tidak hanya sampai di situ, pihak organisasi KPA juga memaksa LPM Institut untuk mempublikasikan permintaan maaf yang juga telah diterbitkan oleh LPM Institut, meski penuh tekanan dan keterpaksaan.
Bahkan, pada Sabtu, (23/4), salah satu pengurus LPM Institut dikirimi pesan berisi pertanyaan yang cukup privasi oleh orang yang mengaku anggota KPA. Orang itu juga bertanya apakah berita ini ditunggangi pihak tertentu atau tidak. Lantas pengurus LPM Institut tersebut mengatakan bahwa berita yang ia buat tidak ditunggangi sama sekali, berita itu dibuat karena memang adanya laporan.
Lebih lanjut, pihak LPM Institut juga sempat bercerita bahwa ada momen dimana pihak organisasi KPA terkait meminta untuk diadakan wawancara secara luring di malam hari.
“Dia juga pernah minta wawancara secara offline jam 10 malam,” jelas pihak LPM Institut.
Hingga pada Rabu, (27/4) lalu, LPM Institut akhirnya melakukan publikasi kembali terhadap berita yang sempat mereka turunkan, tentunya dengan beberapa perbaikan dalam tulisan. Seperti melakukan konfirmasi langsung ke pihak KPA terkait.
Barulah setelah adanya publikasi kembali atas tulisan tersebut, sudah tidak ada lagi intimidasi yang didapatkan oleh pihak LPM Institut. “Jadi setelah berita republish mereka tidak melakukan intimidasi apapun,” lanjut salah satu pengurus LPM Institut.
Di sisi lain, pihak organisasi KPA terkait tidak kunjung memberikan balasan ketika dihubungi oleh Reporter FPMJ. Hingga berita ini diterbitkan, masih belum ada balasan atau tanggapan yang diberikan dari organisasi terkait. Sehingga, pihak FPMJ tidak bisa melakukan wawancara dan konfirmasi perihal kejadian ini.
Posisi Pers Mahasiswa Kian Rentan
Menyadari permasalahan ini, Ade menerangkan bahwa posisi pers mahasiswa sangat rentan terkena intimidasi dan tindak kekerasan dari pihak yang mereka beritakan karena mengangkat isu-isu yang sebagian besar bersinggungan dengan mahasiswa dan pihak universitas.
Hal tersebut menurut Ade, disebabkan karena pers mahasiswa belum memiliki status yang jelas seperti pers pada umumnya. Apalagi ruang lingkup kampus yang kecil sehingga potensi untuk bertemu antar dua belah pihak semakin besar.
“Ketika aktif kuliah, mungkin aja ketemu karena gedungnya sebelahan. Sehingga potensi kekerasannya, baik fisik maupun nonfisik, itu tinggi. Sehingga dalam kasus seperti ini, keselamatan dari awak redaksi itu menjadi penting,” ungkap lelaki berkacamata itu.
Upaya berupa pemberian dasar hukum dan perlindungan hukum bagi pers mahasiswa sempat manjadi topik diskusi yang menjadi salah satu usulannya. Ade mendorong pihak kementerian pendidikan untuk menerbitkan surat edaran atau peraturan menteri terkait kebebasan akademik pers mahasiswa dalam aktivitas pers yang mereka lakukan.
Hal ini karena peraturan yang ada saat ini, seperti Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers itu belum mampu melindungi pers mahasiswa secara penuh. Hanya ada Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengategorikan kegiatan pers mahasiswa ke dalam kebebasan akademik, yang menurut Ade masih sangat umum.
“Forum Pers Mahasiswa merupakan temen-temen yang cukup rentan (terintimidasi, red.) karena regulasinya tadi yah, pakai undang-undang pers, tidak mengakui itu (Pers Mahasiswa, red). Padahal dalam prakteknya kan sebenernya temen-temen melakukan kerja pers,” jelasnya.
Begitu pula terkait dengan tanggapan pihak kampus terkait hal ini. Ade sebetulnya mengharapkan kasus ini diselesaikan dalam wilayah kampus dulu karena masih dalam ruang lingkup kebebasan akademik.
Namun di sisi lain, pihak LPM Institut mengakui kurangnya respon kampus terhadap intimidasi yang diterima oleh mereka. Hingga saat ini, masih belum ada keputusan konkrit dari pihak kampus UIN Jakarta terkait adanya intimidasi tersebut.
Di akhir wawancara, Ade menyampaikan sarannya untuk permasalahan ini kedepannya. “Sarannya hanya satu, yaitu patuh kepada kode etik. Jika semua sudah dilakukan sesuai kode etik, tidak ada alasan lagi untuk melakukan penyerangan,” tutupnya.
Reporter : Tegar Gempa, Vedro Imanuel | Editor : Miska Ithra Syahirah