Nurcholish Madjid, Sang Lokomotif Kaum Pembaharu

Tokoh

Sebagai cendekiawan neomodernisme Islam, gagasan yang dilontarkan Nurcholish Madjid, kerap kali mengundang kontroversi. Meski demikian, oleh pengamat Islam kontemporer, gagasan Cak Nur tetap dianggap sebagai paradigma intelektual gerakan pembaruan teologis di Indonesia.

Aspirasionline.com – Menjadi salah satu cendekiawan Islam, Nurcholish Madjid cukup konsisten mendekonstruksi pemikiran Islam yang mengalami stagnansi menjadi agama yang terbuka. Sejak awal 1970-an, Nurcholish Madjid atau yang dikenal dengan Cak Nur, mulai memelopori gerakan pembaharuannya.

Sejak saat itu, ia mulai meluncurkan gerakan sekularisasi sebagai intelektual, yang kemudian menjadikan dirinya dijuluki “Lokomotif Kaum Pembaharu” dalam aliran neomodernisme Islam.

Bagi Cendekiawan Islam yang lahir pada tanggal 17 Maret 1939, di Kabupaten Jombang, Jawa Timur ini, agama Islam linear dengan semangat kemanusian yang universal. Menurutnya, Islam diartikan sebagai suatu sistem yang menguntungkan semua orang, termasuk mereka yang nonmuslim, untuk itulah Islam bersifat inklusif, bukanlah eksklusifisme.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, wacana inklusif dalam Islam menjadi gagasan sentral dalam sebagian besar buku-buku karyanya. Sebagai pembaharu neomodernisme Islam, ia kerap membangun nalar inklusivisme melalui pendekatan modern tanpa menghilangkan argumentasi doktrin-doktrin otentik Islam, yaitu Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama.

Cak Nur dan Konsep Sekularisasinya

Sebelum wafat pada tanggal 29 Agustus tahun 2005 lalu, Cak Nur seringkali dianggap sebagai cendekiawan Islam yang kontrovesial. Hal tersebut disebabkan karena beliau kerap kali menyampaikan gagasan yang mengundang banyak kritikan.

Salah satu pemikirannya yang dianggap paling polemis dan kontroversial adalah ide sekularisasi. Hal ini dianggap melawan arus pemahaman mainstream.

Menurut para pengkritiknya, sekularisasi dianggap sebagai hal yang dapat menggerus kemurnian akidah umat Islam karena merupakan pemikiran yang berasal dari Barat dan dapat memisahkan dunia dan akhirat. Padahal, Islam tidak mengenal konsep tersebut.

Pada kenyataannya, sekularisasi menurut Cak Nur tak berarti demikian. Menurutnya, sekularisasi bukanlah sebagai penerapan sekularisme yang akan mengubah umat Muslim menjadi sekularis. Tapi, yang dimaksudkan adalah agar umat Islam menduniawikan hal-hal yang mestinya bersifat duniawi serta melepaskan kecenderungan untuk meng-ukhrawikan-nya.

Namun, gagasan tersebut terus mendapat kritik tajam, sebagaian besar kritik tersebut akibat penggunaan istilah “sekularisasi”. Meski tetap konsisten dengan substansi gagasan yang ia lontarkan, Cak Nur kemudian merevisi istilah “sekularisasi” menjadi “desakralisasi” atau “devaluasi radikal” pada tahun 1980-an.

Tak hanya itu, jargon “Islam Yes, Partai Islam No!” digaungkan Cak Nur sebagai bentuk penolakan yang pernah dilontarkan oleh Masyumi. Melalui gagasan sekularisasinya secara substantif menghasilkan bentuk penolakan terhadap segala bentuk Partai Islam dan konsep negara Islam menjadi isu yang kontroversial pada tahun 1970-an.

Dengan  konsep sekularisasinya, Cak Nur menyerukan agar umat Islam berhenti menyucikan sesuatu yang memang tidak suci. Menurutnya, proses sekularisasi dibutuhkan karena umat Islam yang tak lagi mampu membedakan hal yang bersifat transenden dan temporal. Bahkan, terdapat kecenderungan untuk mentransendenkan hal yang temporal.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ulasan ini merupakan bagian dari kumpulan ulasan Series Tokoh Edisi Lebaran.

Penulis: Rahmi Anisah. | Editor: Miska Ithra Syahirah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *