Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Masih Sarat Permasalahan
Tidak adanya pelibatan mahasiswa dan belum adanya perlindungan korban secara menyeluruh, menjadi permasalahan tersendiri dalam pembentukan peraturan mengenai perlindungan korban kekerasan seksual.
Aspirasionline.com − Menanggapi fenomena maraknya kekerasan seksual di lingkungan kampus, Rektor UPNVJ menerbitkan Peraturan Rektor Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di lingkungan UPNVJ. Peraturan ini pun menuai banyak tanggapan dari mahasiswa. Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), Helmy Alkatiri menyebutkan, dengan dikeluarkannya Peraturan Rektor ini, UPNVJ sudah memiliki kepekaan terhadap isu pelecehan seksual.
Hal senada juga disampaikan Founder Alliance for Smashing the Patriarchy (ASP), Firda Cynthia. Ia turut mengapresiasi atas terbitnya peraturan tersebut. Menurutnya, rektor sudah memiliki kesadaran dalam memajukan isu kekerasan seksual dan isu pengarus utamaan gender di kampus. ASP sendiri merupakan komunitas yang peduli terhadap isu kekerasan seksual di kampus
Namun, beberapa kalangan menilai tidak ada pelibatan mahasiswa dalam peraturan ini. Menurut Helmy, proses pembentukan peraturan ini tidak berjalan sebagaimana seharusnya sesuai dengan Peraturan Rektor Nomor 14 Tahun 2019 mengenai Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan UPNVJ. Menurutnya, sesuai amanat Peraturan Rektor Nomor 14/2019, pembentukan peraturan memerlukan perlibatan atau uji publik dari rektor itu sendiri. Ia mengatakan, pihak MPM U tidak pernah menerima undangan dari rektorat untuk mengkaji hal tersebut.
“Sangat menyayangkan karena peraturan ini berdampak untuk melindungi mahasiswa maupun dosen yang terdampak. Sayang sekali kalau tidak melibatkan mahasiswa,” ujar Helmy.
Kurangnya keterlibatan mahasiswa dalam perumusan peraturan rektor juga disayangkan oleh Wakil Ketua BEM U, Sabia Rafani Aliandra. Ia mengatakan, jika Kabinet Mardhika 2021 tidak pernah diundang dalam penyusunan Peraturan Rektor Nomor 8 Tahun 2021. “Mungkin yang sempat terlibat adalah BEM tahun lalu, yaitu Kabinet Samagata 2020 karena memang pada dasarnya mereka yang mengajukan gagasannya,” imbuh Rafa.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Ria Maria Theresa membantah jika peraturan tersebut tidak melibatkan mahasiswa. Menurutnya, pihak kampus melibatkan mahasiswa dalam pembuatan peraturan tersebut sejak kepengurusan BEM U 2019.
“Pembentukan rektor itu kan tidak selesai dalam sebulan, tidak satu dua hari selesai dan peraturan ini selesai di kepengurusan BEM 2020,” jelas Ria ketika diwawancarai ASPIRASI pada Rabu, (11/8).
Ria juga menambahkan jika peraturan yang dibuat tidaklah diganti setiap tahunnya ketika terjadi pergantian kepengurusan. Hal ini pun dianggap sudah melibatkan mahasiswa di dalamnya. Ia juga menilai, pembentukan peraturan memang tidak mungkin melibatkan semua mahasiswa
Masih Terdapat Pasal Bermasalah
Bukan hanya secara prosedural pembentukan saja, Firda menilai, jika peraturan rektor secara substansial masih belum jelas mengenai perspektif korban sehingga tidak mengakomodir secara keseluruhan. Ia memberikan contoh, pada bagian penanganan kekerasan seksual, disebutkan ada pemberian pelayanan psikologis. Namun menurutnya, di dalam peraturan tersebut tidak disebutkan apakah akses terhadap layanan psikologis itu biayanya ditanggung oleh pihak kampus atau oleh korban.
“Hal ini jadi pertanyaan, karena kan akses terhadap pemulihan psikologis itu bukan hal yang murah gitu itu mahal satu sesi aja bisa ratusan ribu dan nggak semua korban punya akses ke sesi psikolog,” jelas Firda.
Firda juga menanggapi perihal penyelesaian kasus kekerasan seksual yang berstandar moral. Menurutnya, standar moral bersifat abstrak, karena tidak memiliki indikator dan ukuran yang jelas. Ia memberikan contoh. Misal ada korban kekerasan seksual, setelah diusut dia tidak memakai baju yang sesuai menurut standar moral UPN. Menurutnya, kekerasan seksual tidak mengenal pakaian yang dipakai korban. Firda beranggapan, jangan sampai ada ruang menyalahkan korban.
“Jadi dalam penanganan pelecehan seksual ya fokus pada pelaku kenapa pelaku melakukan itu. Tapi karena ada standar moral ini ada potensi untuk menyalahkan korban,” tambahnya.
Ia menilai, standar moral dalam peraturan tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu. Jangan sampai standar moral justru menyalahkan korban. Menurutnya, yang dikhawatirkan adalah terjadinya normalisasi kasus pelecehan seksual. “Alih-alih fokus sama pelaku dan perbuatannya, justru malah fokus sama pakaian korban dan lain-lain gitu,” tambah Firda.
Hal serupa juga disampaikan Helmy. Menurutnya, penggunaan standar moral akan menyebabkan korban disalahkan. Menurutnya, standar moral bersifat subjektif. Ia pun menambahkan, bahwa nilai moral sendiri merupakan tuntutan untuk memperlakukan suatu hal sebagaimana mestinya. Hal ini dikhawatirkan tidak memperhatikan korban karena harus adanya standar moral.
“MPM U menemukan kesalahan redaksional yang berpotensi menimbulkan tidak adanya objektivitass dalam penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus,” jelasnya.
Selain itu, MPM U juga menemukan masalah pada Pasal 3 huruf B. Menurut Helmy, pasal tersebut hanya mengakui adanya pelecehan seksual apabila korban dan pelaku memiliki jenis kelamin yang berbeda. Helmy menegaskan, bahwa pelecehan seksual itu pada dasarnya tidak memandang jenis kelamin. MPM U menyayangkan bahwa pasal tersebut tidak mengatur pelecehan terhadap sesama jenis.
Helmy menambahkan, penjelasan Pasal 3 huruf D tidak jelas. Pasal ini mengatur tentang proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Helmy menambahkan, pasal ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai bentuk pendidikan seperti apa yang akan diterapkan.
“Tidak menjelaskan secara jelas pendidikan atau seperti apa yang dilaksanakan pendidik sendiri. Tidah ada penjelasan, apakah dimasukkan ke dalam sistem pembelajaran atau hanya berupa sosialisasi dan edukasi melalui seminar dan webinar” jelas Helmy.
Tidak hanya peraturan yang meliputi persoalan tentang substansi perlindungan korban, BEM U turut bersuara tentang kurangnya peraturan dari segi perlindungan saksi. Rafa menilai, secara garis besar orientasi terhadap korban membutuhkan bantuan. Bantuan itu menurutnya berasal dari saksi.
“Selain korban, orang yang bersaksi harus dilindungi dan itu belum ada (pasal yang mengatur, red),” ungkap Rafa kepada ASPIRASI, Jumat (16/7).
Menanggapi hal tersebut, Ria menganggap, peraturan tersebut telah diatur secara rinci untuk melindungi kepentingan korban. Menurutnya, beberapa poin penting yang dianggap multitafsir pun dirasa tidak diperlukan Standar Operasional Prosedur (SOP). Ia menambahkan, bahwa sudah terdapat penjelasan pada bagian selanjutnya terkait dengan perlindungan terhadap korban. Ia pun meminta agar mahasiswa membaca peraturan yang ada secara lengkap dan meyeluruh.
Setelah terbitnya peraturan tersebut, Rafa mengatakan jika BEM U bersama MPM U akan melakukan koordinasi untuk mencari tahu pola pelaksanaan dan rencana penerapannya di lingkungan kampus. Rafa menambahkan, saat ini BEM U dan MPM U sedang merumuskan kajian dan program yang berbentuk nota kesepahaman mengenai terbitnya peraturan tersebut.
“Rencananya nota kesepahaman ini akan melibatkan seluruh ormawa, UKM, hingga KSM di tingkat jurusan, fakultas, dan universitas untuk bersama-sama mengawal penerapan peraturan tersebut,” tambah Rafa
Ria juga turut berpesan kepada sivitas akademika, agar senantia saling menghargai satu sama lain. Hal itu merupakan salah satu cara untuk mencegah pelecehan seksual di lingkungan kampus. Ia menambahkan, jangan sampai pakaian seseorang menjadi alasan korban mengalami pelecehan seksual.
Reporter: Hafidz Irsyad, Dilla Andieni | Editor: Naafi Sekar Arum.