BEM FK Mempertanyakan Tingginya Pembiayaan Program Profesi Kedokteran
Pada FAM tahun ini, BEM FK UPNVJ mempertanyakan transparansi UKT Program Profesi Kedokteran, menurut BEM FK, mahasiswa sudah membayar mahal namun fasilitas yang didapat belum sepadan.
Aspirasionline. com − Ketua BEM FK, Irsyadio Raihansa dalam kesempatannya memaparkan hasil kajian permasalahan yang dialami mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) yang menyampaikan sejumlah keluhan. Di antaranya terkait transparansi dan kejelasan kalender pendidikan bagi mahasiswa program profesi kedokteran.
Menurut Irsyadio, adanya kalender pendidikan ini diharap mampu memberikan harapan pasti bagi mereka. Pasalnya beberapa angkatan sempat mengalami keterlambatan jadwal dan masa tunggu yang cukup lama. Irsyadio menjelaskan, ketentuan akan waktu ini sudah ada dan diatur dalam buku pedoman, namun yang terjadi pada angkatan 57 dan 61 tidak sesuai dengan hal tersebut.
“Angkatan 57 itu Yudisium tanggal 29 April, padahal berdasarkan buku pedoman PSPD 2019 seharusnya registrasi program studi profesi itu kalau di semester genap dilakukan awal hingga pertengahan februari. Sedangkan ini yudisiumnya baru di akhir april 2019,” tutur Irsyadio dalam Forum Aspirasi Mahasiswa (FAM), Rabu (14/7) lalu.
Ia juga memberikan contoh pada mahasiswa angkatan 61 yang telah mengikuti koas. Namun, masa tunggu yang diterima setelah yudisium selama empat bulan. Menurutnya, panjangnya waktu tunggu itu dinilai terlalu lama. Selain karena waktu, hal itu juga berpengaruh kepada reputasi kelulusan FK UPNVJ.
“Kalau ada masa tunggu terlalu lama, itu akan menyebabkan perpanjangan masa studi. Yang pertama itu dapat menurunkan, atau mungkin enggak menurunkan tapi reputasi kelulusan FK UPNVJ jadi lebih lama. Lalu masa tunggu terlalu lama, sehingga perpanjangan masa studi, studi lagi jadi mempengaruhi bayar spp,” imbuhnya
Dalam paparannya, Irsyadio juga menyampaikan kenaikan UKT yang harus dibayar mahasiswa Fakultas Kedokteran. Kenaikan ini dirasakan oleh mahasiswa golongan UKT satu sampai lima. Untuk Golongan 1 UKT masa sarjana yang sebelumnya hanya Rp 500.000 naik menjadi Rp 17.500.000 di program profesi. Sehingga terjadi kenaikan UKT sebesar Rp 17.000.000.
Irsyadio menyampaikan, hasil survei yang dilakukan BEM FK. Menurutnya, kebanyakan mahasiswa FK baik angkatan 2018 atau 2019 berada di UKT golongan atas 5. Namun, menurutnya pihak kampus tidak boleh menutup mata terhadap mahasiswa yang golongan UKT lima ke bawah. Hal itu dikarenakan mahasiswa tersebut mendapatkan golongan UKT yang telah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga di awal masuk UPN.
Ia juga mempertanyakan tranparansi penggunaan anggaran. “Nah disini ternyata ada beberapa pengeluaran tambahan lagi, yang dimana jadi pertanyaan buat mahasiswa koasnya. Berarti kemana yang 17.500.000 nya?” tanya mereka.
Pasalnya di beberapa rumah sakit, mahasiswa program profesi masih dimintai uang tambahan. Ia memberikan contoh seperti di RS Persahabatan dan RSUD Ambarawa, mahasiswa masih diharuskan membayar uang ujian. Selain itu menurutnya, di stase IKM UNPAD mahasiswa masih dimintai pembayaran sejumlah Rp 2.500.000. Sementara itu di RSPAD mahasiswa diminta Swab PCR saat hendak melakukan perpindahan stase.
Dengan adanya kasus tersebut, Irsyadio menuntut transparansi alokasi dana yang telah mereka keluarkan. “Cuman transparansi alokasi dana, mungkin transparansinya juga ngga perlu spesifik yang ada anggarannya gitu ya. Tapi setidaknya kita tahu 17.500.000 nya kemana? Dan kalau memang butuh lagi kan berarti harus disiapkan,” tuntut Irsyadio.
Program Profesi Memang Mahal
Menanggapi hal tersebut, Dekan FK UPNVJ, Taufiq Fredrik Pasiak menyebutkan bahwa pembiayaan program profesi kedokteran memang jauh lebih mahal dibandingkan dengan masa sarjana. Taufiq juga menyebutkan bahwa pembiayaan terbesar ada pada pembayaran rumah sakit.
“Otomatis pembiayaan pada tingkat profesi itu akan menyerap dana lebih besar dibandingkan penyerapan di masa sarjana terkait dengan pembayaran rumah sakit. Jadi untuk profesi ini biaya terbesar kita habis di rumah sakit,” jelasnya
Taufiq juga mengklaim, bahwa pihaknya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk meringankan beban mahasiswa. Beberapa negoisasi dilakukan oleh pihak fakultas dengan pihak rumah sakit guna meminta keringanan biaya. Untuk RSPAD misalnya, Taufiq menuturkan telah dilakukan setidaknya tujuh kali negoisasi.
Pandemi yang masih berlangsung juga menyebabkan perubahan kebijakan di beberapa rumah sakit. Taufiq menyebutkan, pihaknya hingga kini masih berusaha melakukan negoisasi terkait perubahan kebijakan di RS Cilegon. Sehingga dapat dikatakan bahwa rangkaian proses negoisasi inilah yang menyebabkan masa tunggu menjadi lebih lama.
Terkait biaya di luar UKT, Taufiq juga sudah mengetahui dan melakukan kajian. Beberapa di antaranya sudah didiskusikan kepada pihak rumah sakit. Namun Taufiq menyebutkan, dirinya dan pihak dekanat hanya bisa mengusahakan, semua keputusan kembali pada pihak rumah sakit.
“Sejak awal tahun ini sudah kita pelajari secara mendalam di beberapa rumah sakit yang memang meminta biaya ujian di luar permintaan kita itu ada,” tambah Taufiq.
Hal itu membuat pihaknya terus melakukan negoisasi dengan meminta mahasiswa untuk tidak membayar biaya di luar uang ujian. Namun, menurut Taufiq, keputusan itu bergantung pada pihak rumah sakit.
Ia juga menjelaskan bahwa tidak hanya persoalan biaya yang dibebankan kepada dekanat atau mahasiswa. Beberapa peralatan pun dibebankan kepada kampus.
“Bahkan bukan hanya pembayaran, pihak rumah sakit sampai minta peralatan. Mikroskop itu diminta ke kita, untuk memfasilitasi kegiatan di rumah sakit. Itu juga jadi persoalan ke kita,” imbuhnya.
Namun Taufiq berharap, semua persoalan ini tidak menghambat proses akademik. Ia juga memastikan bahwa dekanat berada di pihak mahasiswa dan menjamin mahasiswa kedokteran pasti menyelesaikan pendidikannya.
Reporter: Ikhwan Agung | Editor: M. Faisal Reza.