Ranah Domestik Jadi Titik Balik Perlawanan Perempuan dalam Konflik Agraria

Opini

Tak hanya laki-laki, perempuan juga kerap tampil memimpin aksi melawan korporasi yang akan merusak alam dengan berbagai cara, bahkan dari ranah domestik sekalipun.

Aspirasionline.com − Agraria tak kunjung bertemu kata selesai di Indonesia, menurut Catatan Akhir Tahun Mongabay dalam kurun 2018 – April 2019 tercatat, 196 kasus konflik agraria di Indonesia ditangani Komnas HAM, kejadian terbesar di 29 provinsi. Nyatanya kasus ini menguat juga akibat kurangnya pengakuan pemerintah terhadap lahan masyarakat adat. Serta keberpihakan pemerintah terhadap gencarnya investasi yang sering digaungkan oleh rezim Jokowi.

Berbagai gerakan juga dilakukan oleh masyarakat desa demi menjaga alam yang mereka pijaki. Seringkali kita mengira gerakan-gerakan melawan korporasi ini dilakukan oleh para laki-laki saja. Pada kenyataanya kita dapat melihat bahwa perempuan juga turut andil dalam memimpin aksi dalam konflik agraria. Dalam sebuah film berjudul, ‘Tanah Ibu Kami’, menunjukan bagaimana perkembangan ekofeminisme di Indonesia yang bermula dari Desa. Jauh dari buku dan teori-teori, kartini-kartini ini menunjukkan bahwa ranah domestik pun bisa menjadi basis alasan mereka melakukan perlawanan.

Banyak orang mengetahui bahwa perempuan pedesaan sangat tertinggal, sangat patriarkal, dan fokusnya hanya pada wilayah domestik saja. Kehadiran perempuan dari Kendeng saat April 2016 lalu di depan Istana Negara, mengaburkan semua pemikiran tersebut. Kejadian ini terjadi bermula dengan rencana pembangunan pabrik semen yang akan berlangsung di daerah Kendeng, pasalnya masyarakat menolak sebab ini akan memberikan dampak buruk bagi alam.

Sembilan perempuan yang hadir di Istana melakukan aksi pengecoran kaki mereka oleh semen, sebagai orang yang berkutat pada dunia pertanian sehingga berhubungan langsung dengan alam, mereka percaya bahwa dengan kehadiran pabrik semen tersebut nantinya akan merusak semua pertanian di desa mereka.

Kartini-kartini Kendeng ini menunjukkan bahwa tidak hanya laki-laki saja yang harus melakukan aksi. Perempuan pun juga harus maju di garda terdepan demi menjaga lingkungan yang menghidupi masyarakat sehari-hari. Aksi ini juga dilakukan untuk menjaga kelestarian alam bagi kehidupan generasi yang akan datang. Gerakan ini seakan memperlihatkan bahwa ranah domestik juga bisa menjadi basis perlawanan perempuan dalam menjaga lingkungan.

Tenun Menjadi Alat Perlawanan Desa Mollo

Seorang anak kepala suku, Mama Aleta mencetuskan gerakan menenun untuk melawan perusahaan tambang, setelah diketahui bahwa alam di desa Mollo dirusak oleh perusahaan tambang. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, ia melalukan berbagai cara provokasi agar warga desa mau ikut berjuang bersama dirinya melawan korporasi.

Di kehidupan sehari-hari perempuan desa Mollo sering menenun, hingga dalam aksinya mereka juga menggunakan alat tenun sebagai simbol bahwa mereka bisa melawan dengan cara apapun, meskipun kerap kali mendapatkan intimidasi dari pelindung korporasi. Namun nyawa pun bisa menjadi taruhan bagi mereka demi alam semesta. Bagi Mama Aleta pengetahuan tidak harus melalui buku, alam mengajarkan secara langsung tentang kehidupan di bumi. Dan seharusnya manusia juga menjual apa yang bisa mereka hasilkan dari alam, bukan tanah dan gunung yang harus dijual.

Represivitas aparat nyatanya tidak luput dari aksi yang mereka jalankan, bahkan ia sendiri pernah mengalami trauma. Di saat aksi ia sempat didekatkan kakinya dengan alat yang tajam, tak dipungkiri rasa takut juga menyelimutinya. Namun ini semua persoalan perjuangan, apapun akan ia lakukan. Yang terpenting adalah alam bisa terus terjaga hingga anak cucu mereka kelak.

Penulis: Fadhila Firdasari Wijaya, Mahasiswa Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *