Bermula dari mengkritisi kebijakan kampus perihal penjualan skripsi dan penebangan pohon di kampus, tiga mahasiswa Unilak di-DO kampus
Aspirasionline.com − Selasa, (6/4), solidaritas mahasiswa yang terdiri dari Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), BEM Universitas Indonesia (UI), Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI), dan Kepresidenan Mahasiswa Trisakti, melakukan aksi di depan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Aksi solidaritas ini bermula dari diberhentikannya alias Drop Out (DO) tiga mahasiswa Universitas Lancang Kuning (Unilak) oleh pihak kampus.
Ketiganya ialah George Tirta, Cep Permana Galih, dan Cornelius Laia. Ketiga mahasiswa ini, sebelumnya aktif dalam aksi-aksi dalam mengkritisi tindakan Rektor Unilak yang melakukan penjualan skripsi dan penebangan pohon secara ilegal. Akhirnya, pada 18 Februari lalu, Rektor Unilak, Junaidi mengeluarkan Surat Keputusan (SK) DO nomor 028/Unilak/Km/2021, nomor 029/Unilak/Km/2021 dan nomor 030/Unilak/Km/2021.
Perwakilan KRPI, Fajar Ar Rafi mengungkapkan, massa aksi solidaritas mendesak Kemendikbud untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Rektor Unilak tentang DO tiga mahasiswa Unilak. Selain itu, pihaknya juga mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi langkah rektor yang melakukan tindakan abuse of power.
“Mendesak Kemendikbud untuk membuat peraturan khusus yang melindungi kebebasan berpendapat di perguruan tinggi,” jelas Fajar.
Selain melakukan aksi solidaritas, perwakilan massa aksi dan tiga mahasiswa Unilak yang terkena DO juga melakukan audiensi dengan pihak Kemendikbud. Perwakilan massa aksi diterima oleh Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Aris Junaidi. Perwakilan massa aksi membawa satu bundel map yang berisi tuntutan massa aksi dan disertai bukti otentik tiga mahasiswa Unilak yang terkena DO.
Aris mengungkapkan, pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin dalam menyelesaikan kasus tiga mahasiswa Unilak yang mengalami DO. Ia mengaku, akan segera menelepon Rektor Unilak. Aris pun berharap, dalam waktu seminggu pihaknya telah mendapatkan progress terkait kasus yang terjadi.
“Kita berharap telah mengetahui apa yang telah dilakukan dan diputuskan antara rektor dengan LLDIKTI. Jadi tidak bisa satu sisi kita menyimpulkan,” ungkap Aris.
Menurut Aris, pihaknya harus melakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan pihak lain. Ia pun mengaku, baru pertama kali mendengar terkait permasalahan DO mahasiswa Unilak. Pihaknya memastikan, dalam jangka waktu satu minggu sudah ada jawaban dari kasus yang terjadi.
“Dalam satu sampai dua hari kedepan, kita carikan solusi yang terbaik. Karena ini masalah pendidikan, masalah pembinaan, masalah kewenangan LLDIKTI. Kita akan berupaya yang terbaik,” tambah Aris.
Menanggapi hasil audiensi tersebut, Fajar mengungkapkan, bahwa pihaknya telah memberikan banyak bukti kepada Kemendikbud secara objektif. “Jika bukti yang diberikan berikan bersifat subjektif, tidak akan setebal itu yang kami berikan,” tambah Fajar.
Apalagi menurut laki-laki itu, kasus ini juga berujung pada penganiayaan dan pengancaman terhadap tiga mahasiswa Unilak yang tidak bisa dibenarkan dalam ruang pendidikan. Fajar juga menegaskan, jika dalam waktu satu minggu tetap tanpa hasil, pihaknya akan melakukan konsolidasi kembali, dan akan melakukan tindakan dengan caranya sendiri.
Hal senada juga dirasakan oleh Ketua BEM UI, Leon Alvinda. Ia mengatakan, pihak Kemendikbud tidak tegas terhadap permasalahan yang terjadi di Unilak. Menurut Leon, Kemendikbud hanya melakukan pembinaan dan komunikasi. Ia juga bertanya-tanya, apakah memang ada pembiaran untuk preseden ini berulang.
Leon juga menyampaikan, jangan sampai, Kemendikbud membahas kampus merdeka, tetapi mahasiswa yang berada di kampus tidak ada kemerdekaan. “Jadi yang merdeka kampusnya untuk merepresi mahasiswa. Bukan mahasiswanya yang merdeka,” jelas Leon.
Salah satu mahasiswa Unilak yang di-DO, Cep Permana Galih berharap, apa yang dilakukan ia dan dua mahasiswa lainnya akan membuahkan hasil. Ia berharap, Kemendikbud, Komisi X DPR, dan Komnas HAM dapat mengevaluasi rektor dan Ketua Yayasan Raja Ali Haji. Galih menganggap, tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa hak pendidikan bisa dicabut.
“Kita akan terus berjuang sampai tuntas, baru kita kembali ke Riau,” tutup Galih.
Reporter: M. Faisal Reza | Editor: Azzahra Dhea.