Kala Pandemi: Sedentary Lifestyle, Stres, dan Kaitannya Terhadap Siklus Haid
Pandemi dapat membuat kita merasa stres hingga tanpa sadar, kita telah menjalani gaya hidup sedentari, yang ternyata berdampak negatif. Salah satunya berpengaruh pada siklus haid.
Aspirasionline.com – Genap setahun sudah, masyarakat hidup berdampingan dengan pandemi. Segala upaya seperti social distancing dan tagar #DirumahAja, masih kerap dijumpai. Pandemi berpengaruh langsung pada penghidupan banyak orang. Tak terkecuali kesehatan mental dan kehidupan sosial masyarakat.
Ketidakpastian mengenai kapan kondisi ini akan berakhir, terus mengusik pikiran masyarakat. Bahkan seringkali hal itu berujung pada stres. Keadaan ini pun diperparah dengan keharusan untuk melakukan segala kegiatan dari rumah. Sehingga penurunan aktivitas fisik tidak dapat dihindari, lantaran hampir semua rutinitas dilakukan di rumah.
Menurut Dokter Spesialis Obstetri-Ginekologi Konsultan, Wisnu Setyawan, stres dan penurunan aktivitas fisik akibat pandemi dapat memberikan efek negatif bagi organ reproduksi perempuan, yakni gangguan siklus haid.
Gangguan Siklus Haid Akibat Stres
Lebih lanjut, Wisnu menjelaskan, bahwa haid yang dialami perempuan, diatur oleh poros hipotalamus dan hipofisis yang terdapat di pusat saraf, serta ovarium yang ada di organ reproduksi perempuan. Pusat pengaturan tertinggi ada di hipotalamus, yang menjadi rumah dari Gonodotropin-Releasing Hormone (GnRH).
GnRH sendiri mempunyai pola-pola irama tertentu yang dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya stres. Stres akan menghasilkan peningkatan hormon kortisol dalam tubuh, yang menyebabkan pola irama GnRH menjadi abnormal.
Sehingga, sering ditemukan siklus yang tidak berovulasi. Artinya, yang terjadi ialah sel telur tidak bisa membesar. “Dampaknya selain tidak ada masa subur, tidak bisa terjadi pembuahan, tidak ada kehamilan, yang berikutnya adalah siklus haidnya jadi memanjang,” jelasnya saat dihubungi ASPIRASI.
Dua hormon yang terdapat di hipofisis, seperti Follicile-Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), berguna merangsang sel telur sebelum akhirnya bisa matang dan pecah. Apabila sel telur tidak matang dan pecah, maka hormon progesteron yang diperlukan ketika haid, tidak dapat diproduksi.
Menurut Wisnu, dampak yang dihasilkan hanya akan ada hormon estrogen. Sehingga, siklus haid akan memanjang dan menyebabkan penebalan dinding rahim atau hyperplasia endometrium.
Sedentary Lifestyle dan Kaitannya dengan Siklus Haid
Penurunan aktivitas fisik pun menjadi penyumbang kemungkinan tidak teraturnya siklus haid. Dikarenakan semua pekerjaan hanya dilakukan dari rumah, maka hal itu membuat sebagian orang mengalami penurunan aktivitas fisik, sehingga energi yang dikeluarkan menjadi lebih sedikit.
Hal tersebut memicu gaya hidup baru yakni Sedentary Lifestyle atau gaya hidup sedentari. Sedentary lifestyle dikenal sebagai perilaku seseorang yang tidak aktif dan sedikit bergerak. Seperti ketika duduk, membaca, bermain game, atau menonton televisi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendefinisikan kegiatan sedentari sebagai segala jenis aktivitas yang dilakukan di luar waktu tidur dengan karakteristik keluaran kalori yang sangat sedikit, yakni <1.5 METs.
Tanpa menyadarinya, selama pandemi kita menerapkan sedentary lifestyle yang memiliki efek negatif bagi tubuh, salah satunya Sindrom polikistik ovarium atau Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS). “Pola hidup yang sedentary lifestyle ini akan memicu si perempuan untuk cenderung mengalami tren PCOS,” terang Wisnu.
PCOS merupakan kondisi gangguan hormon yang dialami perempuan di usia subur, sehingga siklus menstruasinya menjadi terganggu. Wisnu mengatakan, seseorang akan cenderung bergerak lebih sedikit saat di rumah ketimbang saat sedang di luar.
Hal itu pun seringkali dibarengi dengan porsi makan yang sama atau justru lebih banyak selama di rumah. Hingga menghasilkan penimbunan lemak di tubuh, yang kemudian akan menganggu metabolisme tubuh dan menjadi bahan baku dalam pembuatan estrogen di badan. Sehingga menjadi salah satu faktor pemicu PCOS bagi perempuan.
“Jadi salah satu faktor pemicu PCOS ini selain dari gangguan pusat di otak dan memang ada bawaan sendiri dari genetik ovarium, biasanya dipengaruhi gangguan metabolisme tadi,” jelas pria berkacamata itu.
Mengembalikan Siklus Haid Menjadi Normal
Stres dan sedentary lifestyle menjadi dua keadaan yang mudah dialami oleh siapapun dalam kondisi seperti ini. Namun, hal ini bisa diatasi, dengan memperhatikan siklus haid apakah masih dalam kurun waktu yang normal atau tidak.
Wisnu menuturkan, umumnya siklus haid normal berkisar antar 25 sampai 35 hari. Lantas apabila gangguan pada siklus terjadi selama satu bulan hingga dua bulan, masih bisa dilakukan observasi di rumah.
“Misalnya dia liat ada kenaikan berat badan yang berlebih, dia bisa kembalikan pola hidup yang sehat. Olahraga, diet karbohidrat, turun berat badan, mungkin akan kembali dengan sendirinya,” anjuran Wisnu.
Apabila penyebabnya stres, Wahyu menyarankan untuk lebih dulu menghilangakan stres yang dirasakan. “Jika dia bisa hilangi stresnya itu, engga terlalu terganggu dengan isu pandemi ini, stresnya hilang, haidnya akan kembali normal lagi,” lanjutnya.
Dokter yang melakukan praktiknya di Rumah Sakit Permata Ibu ini pun memperbolehkan penggunaan obat untuk melancarkan haid. Namun menurutnya, hal itu hanya cara cepat untuk menginduksi haid, tanpa mengobati penyebabnya. Lantas siklus haid akan kembali terganggu, setelah pasien berhenti mengonsumsi obat.
“Sekali lagi, obat sifatnya hanya solusi instan. Dalam dunia medis, istilahnya pengobatan terbaik itu yang kausatif. Cari penyebabnya, apa yang menyebabkan dia jadi timbul gangguan ini, atasi penyebabnya,” tutupnya.
Foto: Google.
Reporter: Shafa Azzahra. | Editor: Azzahra Dhea.