Katanya Kampus Bela Negara, Kok Pelit Sama Mahasiswa?
Diksi bela negara seakan tak pernah mati. Diksi ini terus mengisi ruang-ruang perbincangan khalayak ramai. Berita terbaru yang sempat menjadi polemik di masyarakat, mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional. Salah satunya, PP tersebut mengatur komponen cadangan (Komcad).
Namun, lupakan sejenak soal Komcad. Mari kita kritisi diksi bela negara di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ). Kampus kita telah mengklaim sebagai Kampus Bela Negara. Hampir semua pembelajaran dikaitkan dengan relevansi bela negara. Tak hanya muatan pembelajaran, setiap jam 8 pagi, dan 4 sore, mars bela negara selalu mengudara di kampus hijau. Identitas Bela Negara selalu melekat pada UPNVJ.
Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Termasuk kondisi pandemi Covid-19 yang melanda saat ini. Namun, alih-alih memberikan kemudahan keringanan UKT kepada mahasiswa di tengah pandemi, pihak rektorat hanya memberikan jangka waktu pendek. Belum lagi segudang syarat administrasi yang wajib dipenuhi dalam jangka waktu tujuh hari.
Jika kita telisik lebih jauh, kebijakan tersebut bertolak belakang dengan identitas bela negara yang selama ini digaungkan oleh UPNVJ. Dalam pembelajaran di ruang kelas, ataupun di luar ruang kelas, kita selalu ditekankan pada pentingnya mengaitkan keilmuan yang kita pelajari, dengan identitas bela negara. Variasinya pun bermacam-macam, mulai dari relevansi bela negara dengan revolusi industri 4.0, hingga pada konsep society 5.0.
Di tengah krisis akibat pandemi Covid-19 membuat terjadinya penurunan drastis perekonomian seluruh masyarakat. Apalagi, di tengah ketidakpastian program pengendalian pandemi Covid-19 yang belum berhasil dilakukan pemerintah. Pandemi mengoyak-ngoyak masyarakat tanpa pandang bulu. Mahasiswa dari golongan mana pun terkena dampaknya. Pembatasan sosial menyebabkan berbagai usaha dan pendapatan menurun, bahkan tidak sedikit yang harus kehilangan pekerjaan.
Kalaupun tidak terdampak langsung, banyak yang mengalami peningkatan pengeluaran atau kebutuhan. Seperti biaya kuota internet yang tidak sedikit, demi menunjang proses pembelajaran. Selain itu. Bantuan keringanan UKT yang ditawarkan pun seperti setengah hati.
Pengumuman nomor PENG/1/UN61.3/AKPK/2021 Tentang Pendaftaran Penurunan Kelompok UKT, Penurunan UKT 50%, Pembebasan UKT, dan Pencicilan UKT Semester Genap 2021 yang dikeluarkan Senin, (18/1) lalu, seakan jauh dari harapan mahasiswa. Waktu pengumpulan yang sangat mepet. Bagaikan dikejar setan, mahasiswa hanya diberikan waktu selama tujuh hari untuk melengkapi berkas keringanan UKT tersebut.
Selain permasalahan waktu, syarat administrasi yang diajukan pun begitu banyak. Mustahil rasanya menyiapkan syarat yang begitu banyaknya secara lengkap, dalam jangka waktu tujuh hari. Birokratis, prosedurnya seabrek, dan minim informasi, mewarnai kebijakan penurunan UKT di tengah pandemi.
Bela Negara Gincu
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.
Sebelum memahami esensi bela negara, kita harus mengerti apa saja unsur-unsur pembentuk sebuah negara. Konvensi Montevideo 1933 menjelaskan, unsur-unsur pembentuk negara terbagi atas konstitutif dan deklaratif. Unsur konstitutif terdiri atas, adanya wilayah, warga negara, dan pemerintahan yang berdaulat. Sementara unsur deklaratif terdiri atas, pengakuan secara de facto dan de jure.
Salah satu yang menjadi unsur pembentuk negara, adalah warga negara. Mahasiswa merupakan bagian dari warga negara. Maka, jika memang bela negara yang selama ini digembor-gemborkan oleh pihak kampus memang benar adanya, sudah seharusnya kampus turut serta membela kepentingan mahasiswa yang merupakan unsur pembentuk negara. Memberikan keringanan UKT di tengah pandemi, merupakan wujud bela negara yang paling konkret.
Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Pihak kampus terlalu sibuk mengaitkan identitas bela negara dengan suatu hal yang jauh dirasakan dan abstrak, namun melupakan substansi yang paling penting dalam dunia pendidikan. Ya, setiap warga negara, sebagaimana amanat konstitusi, berhak mendapatkan pendidikan. Dalam situasi dan kondisi apapun.
Tentu, permasalahan tingginya UKT disebabkan mahalnya biaya pendidikan tinggi. Kini institusi pendidikan menjalankan pendidikan kapitalis yang semakin mahal dan tidak terjangkau bagi seluruh masyarakat. Tentu saja, praktik ini mendapat legitimasi negara melalui liberalisasi sistem pendidikan nasional dan segala turunan dibawahnya.
Namun sebaliknya, kebebasan ini tak berlaku ketika mahasiswa bersuara mendesak penurunan UKT di tengah pandemi. Desakan untuk audiensi terbuka pun ditolak mentah-mentah pihak rektorat. Transparasi penggunaan UKT pun sangat minim. Padahal penting untuk mengupayakan transparansi alokasi UKT agar mahasiswa tidak salah paham terkait penggunaan UKT. Transparansi menjadi landasan, UKT dialokasikan secara tepat sasaran.
Tampak, tapi tak dirasakan mahasiswa. Begitulah kalimat yang tepat menggambarkan identitas bela negara kampus hijau. Bela negara gincu, menjadi satu istilah yang tepat untuk melihat kondisi pepesan kosong identitas bela negara yang selama ini digaungkan. Bela negara yang melihat semuanya dari sisi permukaan dan unsur simbolisasinya saja, tapi nihil implementasi.
Nilai bela negara seharusnya, mampu diresapi dengan memberikan akses pendidikan yang terjamin bagi mahasiswa, bukan malah mempersulit biaya pendidikan. Apalagi di tengah kondisi pandemi. Kita pasti tahu, dan memahami, bahwa disekitar kita terdapat kawan-kawan mahasiswa yang sangat terbebani dengan kondisi UKT di tengah pandemi. Bahkan, terancam tak bisa melanjutkan kuliah karena terhalang biaya.
Suatu yang memalukan, jika kampus hijau membiarkan mahasiswa tak dapat melanjutkan kuliah, hanya karena terhalang biaya kuliah. Kampus hijau pun dengan terang-terangan menunjukan kegagalan tujuan negara yang terdapat dalam pembukaan konstitusi, yakni upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah menjadi tugas rektorat untuk memastikan, setiap mahasiswa berhak mendapatkan pendidikan, dan tak putus kuliah karena tak mampu membayar biaya pendidikan.
Sudah Saatnya Bersolidaritas
Semakin borok-borok itu mengapung, dan semboyan bela negara hanya pepesan kosong, kepada siapa lagi kita harus menggantungkan nasib pendidikan? Kita tidak boleh diam di tempat, tanpa ada upaya mencari solusi terkait permasalahan UKT yang menimpa kawan-kawan yang lain.
Tentu kita masih ingat, di awal semester ganjil terdapat satu gerakan yang digagas mahasiswa, bernama Aliansi Jeritan Mahasiswa Bela Negara (Jiwabara). Namun sayangnya, aliansi tersebut tak mampu mengawal utuh permasalahan UKT di tengah pandemi. Faktor utamanya, disebabkan tak bersatunya mahasiswa. Mereka terpolarisasi dengan terpecahnya gerakan BEM UPNVJ dengan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di tingkat fakultas, serta mahasiswa aktif lainnya.
Tentu, pengalaman tersebut tak boleh terulang kembali. Kita harus menyatukan barisan, guna melawan sistem yang menciderai hak mahasiswa. Ormawa, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), ataupun mahasiswa aktif di luar Ormawa dan UKM perlu bersolidaritas. Jangan sampai, gerakan yang saat ini dibangun, hanya melibatkan unsur ormawa semata, namun nirpartisipasi UKM ataupun mahasiswa aktif. Permasalahan UKT bukanlah permasalahan satu sektor semata, melainkan mencakup seluruh kepentingan mahasiswa.
Kegagalan gerakan di semester ganjil lalu, harus dijadikan pembelajaran demi mempersiapkan perlawanan yang lebih dahsyat. Gerakan inklusif, dengan melibatkan semua pihak, menjadi faktor utama penentu keberhasilan gerakan penurunan UKT.
Sudah saatnya kita bersolidaritas. Mahasiswa bantu mahasiswa. Jika semua membisu, apatis tanpa mempedulikan mahasiswa lain yang terkendala permasalahan UKT, maka, perlu kita pertanyakan rasa kemanusiaan yang ada dalam diri kita.[]
Penulis: M. Faisal Reza, Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) semester 6, UPNVJ.