Sudah Pandemi, Tertimpa UKT Tinggi

Berita UPN

Alih-alih memberikan kemudahan keringanan UKT kepada mahasiswa di tengah pandemi, pihak rektorat hanya memberikan jangka waktu pendek dengan segudang syarat administrasi yang wajib dipenuhi dalam jangka waktu tujuh hari

Aspirasionline.com— Zaid Anshari tak menyangka, keluarganya menjadi salah satu yang terkena Covid-19. Uang yang sudah ia siapkan untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) semester ganjil pun raib untuk membiayai pengobatan keluarganya. Dari enam anggota keluarga Zaid, hanya ia dan adiknya yang tidak terkena Covid-19. Uang yang dikeluarkan untuk proses pengobatan tersebut tidaklah sedikit. Zaid bercerita, biaya pengobatan serta pemulihan keluarganya menyentuh angka 50 juta rupiah.

“Ayah saya seminggu sekali harus swab, ibu saya sudah tujuh kali swab. Dari swab aja sudah habis banyak biayanya,” jelas Zaid pada Rabu, (27/1).

Itu baru biaya swab, belum lagi untuk biaya pengobatan di rumah sakit. Menurut Zaid, rumah sakit tempat penyembuhan keluarganya bukanlah rumah sakit rujukan Covid-19. Hal itu membuat biaya yang dibayarkan begitu mahal. Selain pengeluaran untuk pemulihan keluarganya, orang tua Zaid juga harus menanggung biaya kuliah kakak, adik, serta tak lupa biaya UKT dirinya.

Zaid pun memutuskan untuk mencoba peruntungan untuk mengajukan keringanan UKT. Sudah tiga kali mahasiswa Fakultas Hukum (FH) tersebut mengajukan keringanan UKT ke pihak kampus pada semester ganjil lalu. Dari mulai penurunan golongan, hingga pencicilan UKT sudah ia tempuh. Namun nahas, upaya tiga kali penurunan UKT yang ia ajukan, tak menghasilkan secercah harapan.

Padahal saat itu, satu keluarga Zaid sedang terkena Covid-19. Zaid sudah melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan sebagai syarat penurunan UKT. Mulai dari slip gaji orang tua, hingga menyertakan dokumen yang menyatakan kalau ia sekeluarga terkena Covid-19. Namun tetap saja, pihak kampus tak bergeming untuk menurunkan golongan UKT dirinya.

“Ketika itu, uang benar-benar susah. Karena ya benar-benar enggak terduga terpapar Covid-19 sekeluarga. Ayah enggak kerja selama dua bulan karena harus isolasi dan pengobatan,” kata Zaid.

Segala cara Zaid lakukan agar memperoleh keringanan pembayaran UKT, mulai dari menghubungi Wakil Dekan FH Bidang Umum dan Keuangan, Dosen Pembimbing, dan Dikjar. Namun, tak ada penyelesaian yang ia terima. Hal ini berlanjut sampai kepada momen ketika Zaid ingin melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS). Ia tidak bisa mencetak Kartu Peserta Ujian (KPU) UAS, karena belum membayar UKT semester ganjil.

“Yaudah akhirnya kita nyerah bayar 6,4 juta rupiah, tanpa basa-basi langsung keterima pembayarannya, dan bisa cetak KPU UAS,” keluh Zaid.

Bagai cinta yang bertepuk sebelah tangan, Zaid seperti digantung tanpa jawaban yang jelas dari pihak kampus. Bagaimana tidak, dari bulan Juli sampai Januari, tidak ada kejelasan terkait pembayaran UKT yang harus Zaid bayarkan di semester ganjil. Tiba-tiba, ia disuruh membayar UKT agar bisa mengikuti UAS.

“Kita minta keringanan benar-benar susah banget. Minimal satu juta deh. Kaya selama enam bulan gaada kejelasan. Padahal sudah se-berjuang itu. Beberapa kali pengajuan, sudah semua bukti dilengkapi,” jelas Zaid.

Hal serupa juga dialami oleh Fathurahman Saleh. Fathur, begitu ia disapa, merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP). Fathur juga senasib seperti Zaid. Ia digantung tanpa adanya kepastian terkait pembayaran UKT semester ganjil. Awalnya, ia sudah dinyatakan gratis untuk tidak membayar UKT di semester ganjil, karena pengajuan keringanan UKT-nya diterima.

Sebelumnya, Fathur telah melakukan konfirmasi ke Biro Akademik, Kemahasiswaan, Perencanaan dan Kerja Sama (AKPK) bahwa ia tidak perlu membayar UKT semester ganjil. Namun, secara tiba-tiba muncul kembali tagihan sebesar 3,3 juta rupiah di akun Siakadnya.

“Beberapa minggu kira-kira H-5 sebelum UAS muncul kembali tagihan 3,3 juta rupiah, kok bisa gini,” bingung Fathur.

Fathur pun akhirnya menerima telepon dari  seorang karyawan biro AKPK bernama Mila. Mila sendiri menurut cerita Fathur, juga merasa bingung dengan kondisi yang menimpa Fathur. Mila pun mengajukan opsi pelunasan melalui cicilan sebesar 500 ribu per bulan.

Fathur pun menolak mentah-mentah saran dari Mila. Ia merasa bahwa dirinya korban dari kesalahan sistem. “Enggak bisa sepihak gini. Kalo dari jauh-jauh hari bisa saya siapin. Bisa jual motor, menggadaikan motor dan usaha lain. Tapi ini malah sepihak aja suruh bayar,” kata Fathur pada Senin, (25/1) lalu.

Sampai tiba pelaksanaan UAS, tagihan Fathur masih tidak ada kejelasan. Tagihan UKT Fathur pun menjadi berlipat ganda. Sudah jatuh tertimpa pandemi, Fathur pun harus membayar UKT tinggi. Ia harus membayar UKT semester ganjil dan genap dalam waktu yang berdekatan.

Fathur berencana untuk kembali mengajukan keringanan UKT di semester genap. Walaupun dengan rumitnya syarat administrasi, Fathur akan berusaha agar mendapatkan keringanan UKT.

“Kalau enggak diterima, harus putar otak biar dapet keringanan atau penangguhan. Karena kasian orang tua udah sakit-sakitan, yang kerja cuma bapak,” lirih Fathur.

Fathur sebenarnya tidak bisa mengikuti UAS. Dikarenakan masih menunggak biaya UKT semester ganjil, sehingga tak bisa mencetak KPU UAS. Namun, nasib baik datang kepada Fathur. Ia diizinkan mengikuti UAS oleh dosen di FISIP, setelah ia menceritakan permasalahan terkait keringanan UKT yang ia ajukan.

Ahmad Ibnu Islami, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (FIK) juga mengajukan keringanan UKT sebanyak dua kali pada semester ganjil lalu.  Setali tiga uang seperti Zaid dan Fathur, Ibnu juga tidak mendapatkan keringanan UKT sepeser pun. UKT yang dibayarkan Ibnu tidak lah kecil. Ia harus membayar UKT dengan golongan tertinggi sebesar 9,1 juta rupiah.

Dengan kondisi ayah Ibnu yang sudah meninggal, dan ibunya yang hanya sebagai Ibu Rumah Tangga, Ibnu merasa keberatan dengan UKT yang ia bayarkan. Ibnu bercerita, hanya mengandalkan uang pensiun yang ia dapat dari almarhum ayahnya.

“Belum lagi UKT tinggi, pengeluaran untuk makan dan sebagainya itu sangat berpengaruh banget,” ungkap Ibnu ketika diwawancarai ASPIRASI pada Senin, (25/1).

Ibnu juga tak menampik, pandemi membuat pengeluarannya menjadi lebih banyak. Apalagi terkadang, uang pensiun almarhum ayah Ibnu tidak diterima setiap bulan. Kadang kalanya dirapel pertiga bulan. Ibnu juga beranggapan, kriteria orang tua penanggung jawab biaya kuliah yang mengalami penurunan ekonomi luar biasa yang tercantum dalam syarat administrif keringanan UKT, juga tak menjamin pengajuannya diterima.

“Dari gue sendiri ngajuin karena orang tua meninggal. Sudah kasih bukti dan lain sebagainya, tapi enggak berpengaruh. Kriteria tersebut (orang tuanya meninggal, red) enggak menjamin diterima,” keluh Ibnu.

Kebijakan Keringanan UKT Semester Genap yang Setengah Hati

Senin, (18/01) Pengumuman nomor PENG/1/UN61.3/AKPK/2021 Tentang Pendaftaran Penurunan Kelompok UKT, Penurunan UKT 50%, Pembebasan UKT, dan Pencicilan UKT Semester Genap 2021. Pengumuman tersebut berisi mekanisme dan syarat bagi mahasiswa yang hendak mengajukan keringanan UKT.

Persyaratan tersebut meliputi mahasiswa yang orang tuanya meninggal, mahasiswa yang orang tua atau keluarganya tergena gangguan mental, dan mahasiswa yang orang tuanya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, yang menjadi sorotan, waktu pengumpulan yang sangat mepet. Bagaikan dikejar setan, mahasiswa hanya diberikan waktu selama tujuh hari untuk melengkapi berkas keringanan UKT tersebut.

Dikutip dari notulensi hasil audiensi tertutup antara BEM UPNVJ dengan Rektorat pada Jumat, (22/1), Rektor UPNVJ, Erna Hernawati menyebutkan, alasan waktu pengumpulan berkas yang cepat disebabkan pengumpulan data yang berlangsung ketika peralihan dari semester ganjil ke semester genap yang hanya mempunyai waktu sekitar satu bulan. Hal itu dikarenakan, tanggal 8 Februari sudah dimulai pengisian KRS dan tanggal 22 Februari perkuliahan sudah dimulai.

Fathur mempertanyakan timeline yang sangat mepet dari pihak rektorat. “Kenapa rektorat enggak jauh-jauh hari mengumumkan ada keringanan UKT. Kan mereka yang bikin kebijakan dan mereka yang nentuin timeline kalender akademik. Kenapa terlalu membebankan mahasiswa,” kata Fathur.

Ketua BEM UPNVJ, Rama Fathurachman mengungkapan, pihaknya mendesak agar rektorat menambah waktu pengumpulan berkas. Namun rektorat menolak mentah-mentah desakan tersebut. Menurut Rama, pihak rektorat berdalih jika ditambahkan jangka waktunya, akan berpengaruh dengan proses pembayaran UKT.

“Kami sudah jelas menuntut 7-14 hari perpanjangan, namun ga digubris. Ini sangat mengecewakan,” keluh Rama pada Rabu, (27/1).

Dalam pengumuman tersebut juga dijelaskan, “Bagi mahasiswa yang pernah mendapatkan penurunan kelompok/ kategori semester ganjil maka tidak diperkenankan mengajukan kembali penurunan UKT semester genap, kecuali mahasiswa dari orang tua/ wali penanggung jawab biaya kuliah meninggal dunia atau mengalami penurunan penghasilan yang luar biasa”.

Reporter ASPIRASI mencoba melakukan konfirmasi terkait poin tersebut kepada pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Nizam mengatakan tidak ada peraturan ataupun klausul yang menyatakan bahwa mahasiswa yang sudah mendapatkan keringanan UKT di semester ganjil, tidak diperkenankan mengajukan kembali di semester genap.

“Selama memenuhi kriteria (mahasiswa diperbolehkan mengajukan penurunan UKT di semester genap, red),” ujar Nizam ketika dihubungi ASPIRASI pada Senin, (25/1).

Pada mekanisme kebijakan penurunan UKT semester genap, juga tidak ditemukan adanya bantuan dari kemendikbud seperti pada semester ganjil. Dilansir dari mediaindonesia.com, (11/1), Dirjen Dikti menyebutkan bahwa bantuan UKT masih berlaku pada semester genap 2021.

ASPIRASI mencoba untuk menanyakan kepada pihak rektorat terkait kebijakan penyesuaian UKT ini. Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, pihak rektorat tidak memberikan jawaban.

Rama mengungkapkan, sudah menjadi kewajiban pihak rektorat untuk memastikan mahasiswa bisa berkuliah dan tidak putus kuliah. Menurutnya, di tengah situasi pandemi saat ini, rektorat sudah seharusnya memberikan kebijakan khusus di kala pandemi kepada mahasiswa tanpa terkecuali.

Reporter: M. Faisal Reza | Editor: Rafi Shiddique.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *