Sudahkan Paradigma Sebelah Mata Pada Kelompok Disabilitas

Resensi

Judul : Crip Camp: A Disability Revolution (2020)
Penulis : Nicole Newnham dan James Lebrecht
Genre : Dokumenter
Negara : USA
Durasi : 108 menit

Crip Camp kembali merekonstruksi paradigma terhadap kelompok disabilitas sebagai manusia yang utuh, bukan setengah manusia, ataupun objek yang hanya bisa dikasihani.

Film dimulai dengan narasi James Lebrecht, seorang penyandang spina bifida mengenai kehidupannya saat kecil. Kecintaannya pada musik membuatnya ingin menjadi pemusik handal. Dengan latar belakang tahun 1971, di usianya yang menginjak 15 tahun  James mengikuti sebuah kamp musim panas khusus penyandang disabilitas di Amerika Serikat (AS) bernama Kamp Janed.

Selain kisah James, film dokumenter ini juga menggambarkan kisah penyandang disabilitas di Kamp Janed yang kerap merasakan ketidakadilan di masyarakat. Hal berbeda mereka alami ketika di kamp tersebut. Mereka menghabiskan waktu musim panas dengan merasakan kebebasan yang selama ini sulit dirasakan pada dunia luar. Mereka dapat dengan bebas bercengkrama, bernyanyi, menari, hingga melakukan aktivitas olahraga, seperti bisbol dan berenang. Kebebasan tersebut termasuk juga menjalin hubungan asmara serta dapat melakukan berbagai aktivitas layaknya manusia lain yang selama ini sulit mereka dapatkan.

Crip Camp dihadirkan dalam bentuk rekaman lawas serta wawancara bagi para penyandang disabilitas yang ditampilkan oleh sutradara James Lebrecht dan Nicole Newnham dengan tidak mengandalkan perasaan emosi berlebihan, seperti kepedihan yang sebagian orang selalu gambarkan kepada penyandang disabilitas. Melainkan menggambarkan para penyandang disabilitas sebagai manusia yang layak untuk mendapatkan keadilan dan kesetaraan seperti manusia biasa. Film ini berhasil mendapatkan atensi baik dari masyarakat serta memenangkan penghargaan dalam kategori dokumenter pada Sundace Film Festival 2020.

Bermula dari Perasaan Senasib

Film yang diproduseri oleh Barack Obama dan Michelle Obama ini tak hanya menggambarkan sudut pandang pengalaman penyandang disabilitas, tetapi juga sejarah perjuangan mereka dalam merevolusikan hak-hak bagi penyandang disabilitas. Melalui perbincangan mengenai perasaan senasib seperti mendapatkan stigma buruk dari masyarakat, mematik semangat para penyandang disabilitas di AS untuk berjuang mendapatkan tatanan kehidupan yang ramah terhadap penyandang disabilitas.

Bermula dari komunitas bernama Disabled In Action (DIA) yang diketuai oleh Judith Heumann, para penyandang disabilitas membuat solidaritas bersama menuntut hak-hak sipil sebagai masyarakat. Situasi pada zaman itu AS belum memiliki landasan hukum mengenai kesejahteraan para disabilitas.

Pada menit ke-49 dalam film ini memperlihatkan para peyandang disabilitas melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan bahkan mereka menduduki kantor pemerintahan selama berhari-hari. Melalui orasi yang disampaikan, Heumann  menuntut adanya revisi Undang-Undang (UU) Disabilitas seperti bebas bersekolah di sekolah umum, bebas memilih pekerjaan yang mereka mampu kerjakan, serta kemudahan dalam mobilisasi.

Melewati perjalanan yang panjang nan sulit, penyandang disabilitas melalui DIA akhirnya berhasil menggapai hak-hak sipilnya yang selama ini mereka perjuangkan. Melalui Joe Califano yang merupakan sekretaris bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan Amerika Serikat, tuntutan penyandang disabilitas mengenai ayat 504 pada regulasi pun akhirnya terpenuhi.

Menyelisik Implementasi UU Disabilitas di Indonesia

Persamaan antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas dalam film ini dan kenyataan di Indonesia ialah pada penerapan UU yang masih jauh dari harapan. Indonesia sendiri telah memiliki payung hukum untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yang tertuang dalam UU No. 19 Tahun 2011. Namun, dalam penerapan pemenuhan hak orang dengan disabilitas pada kenyataannya masih jauh dari harapan. Kesadaran kita diketuk melalui menit ke-39 dalam film Crip Camp yang menggambarkan akses layanan transportasi publik seringkali masih belum ramah dilalui penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas harus menggunakan anak tangga yang sama dengan masyarakat biasa, yang tentunya hal ini harus menjadi konsern pemangku kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan data yang didapatkan dari jurnal Universitas Airlangga yang menuliskan bahwa penyandang disabilitas merasakan kesulitan dalam melakukan mobilisasi. Pada jurnal tersebut disampaikan bahwa penyandang disabilitas mengharapkan angkutan umum dapat menjadi alat transportasi yang dapat membantu mereka dalam hal mobilisasi. Namun, bukannya angkutan umum menjadi sebuah alat penolong, justru mereka merasa angkutan umum ini menjadi transportasi yang sangat sulit untuk mereka gunakan.

Selain itu, dalam bidang pendidikan Indonesia masih mengalami ketimpangan partisipasi sekolah antara penyandang disabilitas dan yang bukan disabilitas. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Katadata pada tahun 2018, Angka Partisipasi Sekolah (APS) penyandang disabilitas Indonesia hanya 5,48% yang masih sekolah. Presentasi tersebut sangatlah rendah dari jumlah penduduk yang bukan penyandang disabilitas, yaitu mencapai 25,83%.

Kedua implementasi tersebut menggambarkan bahwa hak dasar penyandang disabilitas sebagai seorang manusia dalam mendapatkan kenyamanan publik dan pendidikan masih belum berjalan maksimal, sehingga perlu menjadi pekerjaan rumah bersama. Agar penerapan UU berjalan dengan maksimal tak hanya pemerintah saja yang harus lebih memperhatikan dan mendorong pemerataan pembangunan fasilitas publik yang ramah disabilitas, tetapi juga dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk bergerak bersama demi keadilan bersama.

Penulis: Z Kalsum Mg, Kamelia Mg | Editor: Syena Meuthia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *