Menilik Independensi Media Dalam Pusaran Konflik Agraria

Berita UPN

Menginjak usianya yang ke-37 tahun, ASPIRASI sebagai media alternatif baik di dalam maupun di luar lingkungan kampus, memperingati acara Dies Natalis dengan menyelenggarakan Webinar “Melihat Keberpihakan Media dalam Konflik Agraria”.

Aspirasionline.com − Hari jadi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ASPIRASI yang ke-37 tahun diperingati dengan mengadakan diskusi virtual bertajuk “Melihat Keberpihakan Media dalam Konflik Agraria”. Kegiatan ini dibuka dengan sambutan Pemimpin Umum LPM ASPIRASI, Thalitha Yuristiana.

Dalam sambutannya, Yuris mengatakan bahwa dalam rangka merayakan Dies Natalis-nya ke-37 LPM ASPIRASI mengangkat isu agraria. Ia berharap, teman-teman dari berbagai kalangan bisa lebih fokus terhadap isu ini.

“ASPIRASI melihat isu agraria sebagai isu yang vital, tetapi masih jarang digunakan terutama Omnibus Law yang berdampak agraria,” kata Yuris, Sabtu, (31/10).

Dalam sambutannya pun, Ketua Pelaksana Dies Natalis ASPIRASI ke-37, Suci Amalia Tirachim menyampaikan berbagi informasi bagaimana konflik agraria di Indonesia serta bagaimana cara media seharusnya membuat pemberitaan terkait konflik agraria yang terjadi.

“Diharapakan ini mampu membuka pandangan tentang hal-hal yang jarang diperhatikan di sekitar kita,” ucap Suci.

Sesi pertama acara tersebut dibuka dengan bahasan ‘Diskursus Konflik Agraria di Indonesia’ yang diisi oleh Media Kampanye KPA Benny Wijaya. Dalam paparannya, Benny menyampaikan bahwasanya tanah tidak boleh digunakan sebagai kepentingan indvidu dan berbagai masalah pokok agraria nasional.

“Dalam liberasisasi agraria, setiap kebijakan yang ada di agraria tidak memperioritaskan rakyat kecil, namun lebih bercorak pada investasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, menurut Beni masalah lainnya dalam bidang agraria lainnya seperti ketimpangan struktur agraria dan monopoli tanah,  serta tumpang tindih dan kontradiksi regulasi yang terjadi pada sektor agraria.

Benny menambahkan, warisan agraria kolonialisme yang berlanjut dari jaman kemerdekaan pun menjadi akar permasalahan dari konflik agraria yang terjadi saat ini. “Hal itu dibarengi dengan adanya ekonomi politik agraria yang kapitalistik dan liberal-kolonialisme gaya baru,” jelas Benny.

Menjadi pembicara kedua dalam sesi pertama, Pengacara Publik LBH Yogyakarta Abdul Malik Akdom menyampaikan terkait reorientasi dan disorientasi nasib sebagai negeri agraris. Menurutnya, di Indonesia penguasaan atas tanah sangat tinggi, sehingga lahirnya UU Pokok Agraria menjawab ketimpangan tanah yang ada di Indonesia.

Abdul menganggap pemerintah perlu untuk membuka lapangan pekerjaan dengan cara meningkatkan investasi. Namun, banyak hambatan untuk melanggengkan investasi. “Salah satunya proses perizinannya ribet dan panjang. Maka penting untuk membuat perangkat aturan yang memudahkan investasi,” ungkap Abdul.

Editor Mongabay Indonesia Sapariah Saturi membuka sesi kedua, menyoal keberpihakan media dalam pemberitaan konflik agrarian. Pada paparannya, Sapariah mengatakan bahwa ketika ada masalah lingkungan itu beriringan dengan masalah konflik sengketa lahan.

“Isu agraria masih sebagai isu yang dianak tirikan,” tutur perempuan itu.

Maka menurut Sapariah, Mongabay hadir sebagai media yang selalu update terhadap isu agraria selalu menyerukan isu agraria supaya menjadi isu mainstream.

Jurnalis Freelance, Farid Gaban menekankan tentang Sembilan elemen jurnalistik, dimana tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran dan loyalitas utama adalah pada masyarakat. “Dalam katiannya dengan konflik agraria, kita harus melihat apakah sembilan elemen jurnalisme tersebut di perhatikan,” ucap Farid.

Laki-laki itu pun menuturkan bahwa sebagai wartawan, harus dapat memantau kekuasaan dan berpihak pada kebenaran dan kaum yang lemah.

“Tidak ada yang netral, adanya independen,” tambahnya.

Menurut Farid, sudah banyak media yang mengabarkan konflik agrarian tetapi hanya sekadar memberitakan saja, sehingga tidak ada dampaknya dalam perubahan kebijakan. Salah satu tolak ukur kesuksesan pemberitaan konflik agraria, kata Farid, yaitu apabila ia bisa mendorong perubahan kebijakan secara substansial, reforma agraria, transparansi kepemilikan laham kebijakan pertanian, dan perkebunan yang sehat.

Reporter: Azzahra Dhea | Editor: M. Faisal Reza.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *