Kriminalisasi Terhadap Kelompok Minoritas Marak, Advokat: Negara Melanggar HAM

Nasional

Negara diduga melakukan pelanggaran HAM atas maraknya kasus diskriminasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan kelompok minoritas.

Beberapa waktu lalu, Tokoh Adat Kinipan Effendi Buhing ditangkap oleh aparat. Video penangkapan dirinya juga sempat viral di media sosial dan dihujani kritik oleh netizen. Sebelumnya, Effendi dan masyarakat adat Kinipan sudah gerah dengan aktivitas PT SML yang membalak hutan mereka untuk dijadikan perkebunan sawit.

Kendati demikian, pemerintah menyatakan bahwa penangkapan Effendi Buhing tak ada kaitannya dengan pencaplokan tanah adat. “Ini video pernyataan Buhing. Ini sesuai dengan info dari Polri bahwa masalah tersebut tidak ada kaitannya dengan pencaplokan tanah adat,” kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD pada Kamis, (27/8) dilansir dari Tirto.id.

Kasus Effendi Buhing pun didalih karena melakukan pencurian dan perampasan gergaji mesin milik perusahaan. “Saya dituduh menyuruh mencuri gergaji mesin, justru merekalah yang mencuri hutan,” kata Effendi Buhing pada diskusi yang bertajuk ‘Negara Melanggar HAM’, Senin, (21/9) lalu.

Dalam memperingati hari perdamaian internasional, Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP) bersama Serikat Jurnalistik Keberagaman (Sejuk) menyelenggarakan diskusi yang menyoal sikap negara terhadap masyarakat minoritas. Effendi menjadi salah satu pengisi diskusi tersebut.

Efeendi dan masyarakat Kinipan, Kalimantan Tengah, sudah sejak tahun 2012 mempertahankan wilayah adatnya dan melakukan berbagai penolakan terhadap perusahaan yang kerap membuka lahan.

“Sejak tahun 2012 kami melakukan penolakan-penolakan kepada perusahaan ini,” jelasnya.

Berbagai usaha juga telah Efendi dan warga setempat lakukan, mulai dari mendatangi tempat perusahaan itu bekerja sampai melapor kepada badan pemerintahan. “Kita  melaporkan ke DPRD, bupati, sampai ke gubernur melalui surat. Dan terakhir kita datangi Kantor Staf Presiden, dan Komnas HAM,” jelas Effendi.

Hingga saat ini, peristiwa penangkapan yang ia alami membuat dirinya sakit hati dan merasa malu. Ia mengatakan bahwa warga desa Kinipan juga merasa trauma dan khawatir apabila ada mobil yang melewati desanya.

“Peristiwa ini menyakitkan dan memalukan. Menyakitkan, pertama saya dikriminalisasi dan saya dituduh mencuri,” tuturnya.

Dugaan Pelanggaran HAM oleh Negara

Penghayat Sunda Wiwitan, Juwita Jatikusumah Putri juga menceritakan pengalamannya diskriminasi. Ia menyampaikan bahwa jumlah penganut kepercayan yang cenderung sedikit sering mendapatkan disksriminasi. Bahkan, tak jarang diskriminasi itu datang dari negara.

“Kuantitas komunitas yang sedikit, kemudian dengan berbagai latar belakang yang tidak pernah kami pahami, sehingga selalu ada stigma yang menimbulkan diskriminasi, termasuk dari negara sendiri,” tuturnya.

Ia menceritakan bahwa beberapa bulan lalu makam leluhur dari penghayat Sunda Wiwitan disegel oleh pemerintah daerah setempat. Alasannya, khawatir digunakan sebagai tempat pemujaan.

“Sebetulnya hal itu bukan suatu hal yang aneh tapi mungkin bagi masyarakat Indonesia sekarang ini, kebudayaan dan peradaban bangsanya itu menjadi sesuatu yang dianggap tidak lazim,” kata Juwita.

Juwita menyayangkan hal ini terjadi, terlebih pemerintah yang tak pernah menengahi asumsi-asumsi yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan kepecayaan mereka.

“Pemerintah itu berusaha memaksakan sebuah peraturan demi mengabulkan asumsi. Meskipun berkali-kali kami konfirmasikan bahwa itu makam,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Juwita, Batu Satangtung tersebut dikaji ulang oleh bupati setempat dan segel terhadap bangunan tersebut akhirnya dibuka empat hari sebelum hari kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada Kamis, (13/8) lalu.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhamad Isnur menerangkan bahwa negara diduga turut melakukan pelanggaran HAM atas apa yang dialami oleh masyarakat Kinipan dan penghayat Sunda Wiwitan.

“Ketika negara gagal, terbukti tidak memenuhi, tidak melindungi, di situlah pelanggarannya. Negara harus hadir dan mencegah tindakan yang mendiskriminasi masyarakat,” jelas Isnur.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga sudah termaktub soal peran pemerintah dalam memenuhi HAM warganya. Pada Pasal 71 berbunyi: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab, menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”

Reporter: Fadhila Firdasari Wijaya. |Editor: Firda Cynthia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *