Cerita Di Balik Aksi Tolak Omnibus Law: “Gue Langsung Diringkus”
187 massa aksi Tolak Omnibus Law ditahan berjam-jam di Polda Metro Jaya pada Jumat, (14/8). Mereka mengaku ditangkap dan digeledah secara tiba-tiba saat tengah berjalan.
Aspirasionline.com – Ramli terkejut ketika segerombolan polisi mendekatinya. Sore itu, sekitar pukul 16.00 WIB, Ramli dan keempat temannya hendak menuju gedung DPR/MPR RI untuk mengikuti aksi Tolak Omnibus Law. Ia dan teman-temannya diinterogasi. Tas mereka digeledah paksa. KTP dan gawai mereka pun tak alpa dari penyitaan.
Ramli protes karena merasa tak melakukan tindak pidana apapun. Ia dan temannya hanya sedang berjalan. Bahkan, saat itu posisinya belum sampai titik aksi – masih sekitar 800 meter dari gedung dewan.
Masih memprotes, mereka digiring ke pos polisi. Ramli dan kawanan merasa polisi belum juga menerangkan alasan yang masuk akal. Sampai di pos polisi pinggir jalan, Ramli melihat sudah ada banyak orang yang diduga ditangkap oleh aparat. Seperkiraan dia, jumlahnya ada 30-an.
Saat Ramli duduk beralas aspal, punggung kaki salah seorang aparat menendang pinggangnya. Sekali, dua kali. Saat yang ketiga kali, Ramli mendongak ke si empunya kaki. “Kenapa? Mau ngajak berantem?” ketus aparat itu. Ramli memilih bergeming.
Tiba-tiba tangannya ditarik agar berdiri dan hendak dibawa ke suatu tempat. Namun, tindakan polisi itu langsung dicegah. “Gue hampir mau dibawa entah kemana, tapi gak jadi kayaknya seniornya yang nahan itu,” kata Ramli.
“Pas masih di pinggir jalan itu udah sialan banget,” lanjut dia.
Ramli dan orang-orang di situ ditahan sekitar 30 menit, sebelum akhirnya diringkus ke Polda.
“Ambil borgol, bawa ke Polda.”
Ramli tak terima. “Atas dasar apa kita ditahan?”
“Sudah diam aja kalau gak salah gak bakal diapa-apain.”
Tangannya langsung diborgol. Kemudian dipaksa menaikki tronton bersama 30 orang lainnya. “Di perjalanan udah kayak bawa binatang polisi bawa mobilnya. Di dalam juga tumpuk-tumpukkan,” kisah Ramli, mengingat kejadian sore itu. Mereka dibawa ke Polda Metro Jaya.
Kisah lain dari Kiel –bukan nama sebenarnya– juga tak jauh berbeda. Kiel sudah dibawa aparat kepolisian ke Polda Metro Jaya lebih dulu dari rombongan Ramli. Sejak siang, sekitar pukul 12.00 WIB, Kiel sudah tiba di bilangan Senayan. Sama seperti Ramli, Kiel hendak mengikuti unjuk rasa Tolak Omnibus Law yang digelar Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) di depan gedung parlemen.
Saat berjalan di sekitaran Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Kiel bersama tiga temannya mendapati seorang polisi –terlihat dari seragamnya– turun dari mobil patroli Ford Pick Up. Mereka mencurigai gerak-gerik polisi tersebut yang mengikuti sembari memotret ke arah mereka.
“Ada polisi nih satu orang udah ditaker dan difoto-fotoin kita berempat,” kata Kiel kepada ASPIRASI, Sabtu (15/8).
Enggan dibuntuti, mereka langsung mengambil Transjakarta di Halte JCC Senayan. Spontan. Posisi polisi sudah di atas jembatan halte saat Kiel dan kawanan menunggu Transjakarta tiba. Menurut mereka, meninggalkan Senayan untuk sementara, akan lebih aman.
Kiel dan tiga kawannya pun mengakhiri perjalanan impulsif itu hingga Halte Slipi Petamburan. Di luar perhitungan mereka, ternyata di bawah jembatan halte para polisi sudah berjaga, jumlahnya lima orang. “Dari kejauhan sudah melihat polisi-polisi dari divisi narkotika nunggu kita turun (dari jembatan halte Transjakarta, red.),” kata Kiel.
Di Slipi Petamburan, Kiel dan teman-temannya diberondong pertanyaan yang mengintimidasi, dengan nada tinggi.
“Eh, kalian mau ke mana?”
“Mau ke Stasiun Palmerah,” jawab Kiel sekenanya.
“Yaudah, sini-sini saya periksa dulu,” kata aparat.
Kiel protes. “Lho, alasannya apa? Kok tiba-tiba meriksa?”
Pertanyaan itu tak diindahkan aparat. Ia dan teman-temannya dipaksa untuk bersedia digeledah, tanpa persetujuan. Polisi semakin menjadi-jadi ketika mendapati masker respirator, kaca mata goggle, dan helm medis di tas mereka.
“Wah, siap-siap mau perang ini. Mau demo ini,” celetuk salah seorang aparat siang itu.
Selepas itu, mereka digiring ke tenda pos polisi di bawah fly over Slipi. Di situ, barang Kiel dan teman-temannya lepas dari genggaman, termasuk gawai dan kamera. Kiel naik pitam saat gawainya dirampas. Terlebih, mereka juga mengoperasikannya. “Mereka buka-bukain hp kita, terutama isi WhatsApp,” ujarnya.
Selain itu, masker respirator, kaca mata goggle, helm medis, dan kamera temannya juga tak luput diambil. Ia merasa ganjil atas kejadian penangkapan ini. Ia dan kawanan merasa tak melakukan apapun yang mengganggu ketertiban. Pun tidak melakukan perbuatan kriminal.
Saat Kiel protes, ia mengaku dipaksa menurut. “Udah kamu diam aja. Saya polisi berhak meriksa handphone kamu,” balas polisi di tenda pospol itu.
“Gak ada alasan yang pas buat nangkap kita,” aku Kiel pada ASPIRASI.
Selang beberapa menit, Kiel dan teman-temannya digiring ke tronton. Ia diberitahu akan dibawa ke Polres. Namun, Kiel heran ketika mobil justru melewati Lapangan Tembak Senayan. Di situ sudah banyak polisi.
Kiel menyadari ia dan temannya dibawa ke Polda Metro Jaya. Mereka dipaksa masuk ke ruangan Kriminal Umum (Krimum) Polda Metro Jaya, sebuah ruangan yang sama dengan Ramli dan ratusan orang lainnya. Tanpa mendapat penjelasan atas tindakan penangkapan dan penggeledahan dari aparat yang dapat diterima.
Dugaan Adanya Pelanggaran HAM oleh Polisi
Humas Polda Metro Kombes Yunus Yusri mengatakan bahwa saat ini ada enam orang yang ditetapkan tersangka.
“Yang mau membuat onar itu yang kita amankan ada total sekitar enam kita jadikan tersangka. Barang bukti yang kita temukan adalah bermacam-macam barang bukti yang memang dipakai untuk membuat onar,” kata Yunus kepada ASPIRASI, Selasa (18/8).
“Limanya itu anarko dan yang satunya juga mantan anarko yang memang direncanakan. Inilah orang-orang yang sering melakukan keonaran pada saat unjuk rasa,” lanjutnya.
Ia enggan menyebutkan barang-barang bukti seperti apa yang dinilai dapat membuat onar ataupun yang berkaitan dengan kelompok Anarko yang dimaksud.
Saat ditanya mengenai tindakan kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap ratusan orang, Yunus mengatakan bahwa pihaknya tidak menangkap, melainkan mengamankan.
“Enggak, kita gak tangkap. Kita razia, kita amankan pada saat itu. Kita pulangkan setelah gak terbukti,” katanya.
Koordinator Penanganan Hukum LBH Jakarta Nelson Simamora mengatakan bahwa polisi diduga melakukan penangkapan sewenang-wenang. Pada aksi Tolak Omnibus Law 14 Agustus, 187 orang ditangkap dan ditahan berjam-jam di Polda Metro Jaya.
Baca juga: 187 Massa Aksi Ditangkap, Tak Semuanya Dipulangkan
“Orang yang ditangkap harus diduga sudah melakukan tindak pidana. Bisa juga ketika tertangkap basah melakukan pidana. Itu baru boleh ditangkap untuk diproses,” terangnya.
Dalam Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterangkan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
“Ditangkap itu gak cuma ketika udah dibawa ke kantor polisi. Terhitung orang itu gak boleh kemana-mana, itu udah penangkapan. Polisi yang menangkap seseorang, harus dengan alasan dan bukti yang cukup,” jelas Nelson kepada ASPIRASI, Senin, (17/8).
Kejadian yang dialami oleh Ramli dan Kiel, menurut Nelson, merupakan dugaan pelangaran HAM yang dilakukan Kepolisian RI. Dugaan pelanggaran HAM tersebut terjadi ketika polisi melakukan penangkapan dan penggeledahan secara sewenang-wenang.
“Ini bahaya banget. Penangkapan seperti ini adalah perampasan kemerdekaan oleh negara,” kata dia.
Menurut Nelson, polisi juga tak bisa melakukan penggeledahan dan penyitaan sesederhana itu, terlebih ketika tak melakukan tindak pidana atau mengganggu ketertiban umum apapun.
Dalam Pasal 32 KUHAP, penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.
KUHAP juga mengatur tindakan penyitaan. Dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
Lantaran penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa yang dapat melanggar HAM, maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.
Pasalnya, menurut keterangan yang diperoleh Nelson ketika mendampingi peserta aksi di Polda Metro Jaya, mereka mengalami penggeledahan dan penyitaan secara tiba-tiba tanpa diberitahu alasan yang jelas.
Ketika dalam situasi diinterogasi oleh pihak kepolisian, Nelson mengatakan bahwa masyarakat dapat mempertanyakan alasan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dan tindakan apa yang diduga melanggar hukum.
“Kalau teman-teman lagi jalan lalu disuruh berhenti untuk digeledah, tanya kenapa. Kita berhak tahu alasannya. Kalau gak bisa jelaskan, kita tolak,” katanya.
Selain itu, lanjut Nelson, pastikan bahwa polisi memiliki surat perintah. Ini sesuai dengan kewajiban petugas kepolisian dalam melakukan penangkapan, yaitu menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan.
“Gak bisa menggeledah sesederhana itu. Minta surat perintah tugas. Suratnya juga dibaca baik-baik. Yang bisa melakukan penggeledahan itu kalau dalam proses penyidikan, atau ketika diduga keras melakukan tindak pidana atau tertangkap tangan,” kata Nelson.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TIUD) dan GEBRAK saat ini sudah mengadukan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kepolisian RI dan beberapa perusahaan pada peserta aksi Tolak Omnibus Law yang dilakukan DPR 14 Agustus, kepada pihak Komnas HAM.
Reporter: Firda Cynthia | Editor: Fakhri Muhamad.