Islam dan Kesalehan Sosial yang Terlupakan
Judul buku : Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Tebal : 365 halaman
Islam di awal kehadirannya telah mencerahkan jiwa bangsa Arab. Bangsa Arab pun mulai mengubah sistem kemasyarakatan dan politiknya yang sebelumnya penuh ketertindasan dan ketidakadilan. Bahkan, untuk pertama kalinya, mengangkat derajat perempuan.
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah dikatakan beriman orang yang dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya tertidur dalam keadaan lapar,” (HR. Bukhari). Begitulah sabda Nabi yang saat ini mulai dilupakan oleh umat Islam. Mengapa tidak, saat ini umat Islam sedang mengglorifikasi ibadah ritual semata – seperti salat, zakat, ibadah haji – namun mungkin tak pernah terpikirkan untuk tergerak mencentuh “ibadah sosial” seperti melawan kemiskinan, penindasan ataupun gerakan sosial lainnya.
Islam adalah agama yang mencakup semua hal, tak hanya urusan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah), tetapi juga mencakup hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas). Hal ini yang coba kembali diangkat oleh Eko Prasetyo dengan bukunya ‘Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal Dari Wacana Menuju Gerakan’. Eko Prasetyo, seorang penulis yang merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Hingga kini ia memilih untuk mempercayai bahwa Tuhan sangat pemurah dan penyayang pada semua orang yang memiliki nyali untuk melawan penindasan.
Eko Prasetyo mencoba memelopori wacana gerakan Islam Kiri. Fokusnya adalah hendak melawan penindasan dan kesengsaran yang coba dilancarkan oleh kekuatan modal, secara tak langsung berdampak dengan keadaan umat Islam saat ini. Islam Kiri adalah sebuah proses transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih adil dan terbebas dari penindasan. Frasa ‘Islam Kiri’ Eko Prasetyo tak bisa dilepaskan dari pemikiran intelektual Islam India, Esghar Ali Engineer.
Dalam salah satu karya Engineer berjudul Islam and Its Relevance to Our Age, Islam yang diajarkan Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain).
Sikap egaliter tersebut, Kembali ditegaskan oleh Engineer dalam bukunya yang berjudul Islam dan Teologi Pembebasan. Islam mengajarkan untuk menempatkan manusia sederajat (egaliter) dan menolak segala bentuk penindasan; menumpuk harta, riba, kemiskinan dan kebodohan. Menurut Al Qur’an, hak atas kekayaan itu tidak bersifat absolut. Semua yang ada di bumi dan di langit adalah kepunyaan Allah, dan kita dilarang untuk membuat kerusakan disana.
Seperti yang tercantum dalam ayat Al-Quran “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagian dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi” (QS 2: 60).
Ketika masa diutusnya Nabi Muhammad, Islam diturunkan ke muka bumi bukan saja untuk mengajak manusia mengesakan Allah semata, tapi lebih daripada itu. Ketika kafir Quraisy memusuhi Islam, sejatinya tak hanya memusuhi gerakan untuk mengajak kepada keesaan Allah, tetapi Islam dimusuhi bahkan ditolak kala itu, karena mencoba untuk menggangu stabilitas pemusatan ekonomi yang dilakukan oleh orang kaya Quraisy. Sebut saja Abu Lahab bin Abdul Mutholib, Walid bin Abu Sofyan yang memiliki tumpukan emas dan ratusan budak.
Ketika Nabi Muhammad SAW diutus, Islam menggangu stabilitas pemusatan ekonomi tersebut dengan mengajarkan ajaran praktek perdagangan yang jujur dan menghilangkan kepicikan. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT yang menyatakan, “Kami perintahkan supaya orang-orang yang kaya di dalamnya patuh, namun mereka melanggar aturan. Maka sepantasnya berlaku kutukan atas mereka, lalu kami pun membinasakannya,” (QS 17:16).
Ajaran Negatif yang Mesti Dilawan
Ajaran militan Islam khususnya Islam di Indonesia kini dibombardir menjadi agama yang berwatak popular. Islam dijajah secara ideologis oleh kelas dominan, sehingga menjadi peneguh status quo dan acap kali memberikan legitimasi bagi tatanan yang miskin dan memiskinkan. Hal ini yang menurut Harvey Cox ditandai oleh beberapa gejala negatif.
Pertama, menganggap kemiskinan sebagai kehendak Allah. Kemiskinan bukan soal prioritas karena yang utama adalah bagaimana memahami itu semua sebagai ‘ujian’ kesabaran individu. Hal ini sangat bertolak belakang dengan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS 13: 11). Kedua, timbul pelarian pelarian yang berujung pada semua masalah semata karena perangai individu. Sikap ini kemudian memandulkan komitmen sosial-politik umat Islam sehingga mudah menjadi ‘boneka’ kepentingan segelintir elit.
Ketiga, Islam dipugar satu persatu keyakinan ‘radikalnya’ untuk melawan penindasan menjadi ajaran yang berorientasi pada ‘kemenangan akhirat’. Kaum miskin cukup diberi candu akan pahala yang diterima di surga kelak, sehingga menimbulkan sebuah fase yang menjadi penolak untuk berjuang bersama melawan penindasan karena di ‘nina bobokan’ oleh pernyataan tersebut. Keempat, mulai disebarkannya pemahaman agama yang menekankan pada harmoni guna tetap bertahannya status quo.
Perspektif kelas mulai ditinggalkan karena dianggap akan merusak tatanan yang ada secara permanen. Pendapat ini merupakan suatu hal yang keliru. Perspektif kelas diperlukan untuk menumbuhkan semangat juang agar mampu melawan penindasan yang terjadi. Jika umat sudah sadar akan kondisi kelasnya maka akan tumbuh semangat juang untuk melawan penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuasi, sehingga jika hal ini dibiarkan, akan menghancurkan tatanan kelas yang sudah dibangun oleh kaum borjuasi.
Kelima, Islam menjadi agama yang bermuara pada segelintir tokoh yang memegang kendali kekuasaan bahkan pengetahuan tentang baik dan buruk. Itu sebabnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan keagamaan menjadi rendah karena gerakan agama menjadi birokrasi baru yang lebih represif.
Melawan Penindasan Sebagai Kesalehan Sosial
Dalam keadaan saat ini muncul streotipe keagamaan yang menganggap orientasi akhirat lebih penting dibandingkan kehidupan dunia. Alhasil watak enggan melawan segala bentuk pemusatan ekonomi, penindasan yang dilakukan oleh pemilik modal sulit untuk dibantahkan. Hal ini tercermin dari ceramah-ceramah ustadz ataupun tokoh agama terkemuka yang sangat jarang sekali menyentuh pembahasan sektor pembebasan atas kemiskinan, penindasan, ataupun gerakan sosial lainnya.
Padahal jika ditelisik lebih jauh keberpihakan Nabi terhadap pembebasan sosial sangat terlihat. Seperti Hadist “Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah). Ataupun ketika suatu saat Nabi memuji kaum pekerja. ““Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad).
Dalam Al-Quran terkait upaya untuk mendorong umat memperhatikan kesalehan sosial juga terlihat dalam “Kalian tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian pemilikan yang kamu cintai” (QS.3: 92). Dalam ayat tersebut, kita mendapatkan kaitan antara al-birr (kebajikan, kebaikan, atau keutamaan secara umum) dan infaq (bakti sosial, kepedulian pada kemelaratan dan situasi sosial, solidaritas melalui distribusi kekayaan secara mendasar).
Mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, almarhum KH. Ali Musthafa Ya’qub, pernah menungkapkan gagasan tentang merosotnya spirit atau etos “ibadah sosial” dan meningkatnya atau maraknya perilaku “ibadah personal” atau “ibadah individual”. Islam, menurut Kiai Ali, memberikan prioritas pada “ibadah sosial” ini ketimbang “ibadah individual”.
Kiai Ali mengutip sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dimana Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tuhan (Allah SWT) itu ada—dan dapat ditemui—di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita.” Itulah sebabnya Nabi Muhammad sepanjang hayatnya lebih banyak didedikasikan untuk membela kaum lemah dan tertindas serta melawan keserakahan dan keangkaramurkaan. Beliau lebih banyak menjalankan aneka bentuk ibadah sosial-kemasyarakatan ketimbang ritual-ritual keagamaan yang bersifat personal. Dalam sebuah kaedah fiqih yang dijelaskan oleh Sumanto al Qurtuby juga dinyatakan: “al-muta’addiyah afdhal min al-qashirah” (ibadah sosial jauh lebih utama daripada ibadah individual).
Jangan sampai, umat Islam masuk kedalam kategori egoistik atau individualistik yang hanya mementingkan diri-sendiri dan demi mengejar kebahagiaan dan keselamatan dirinya sendiri kelak di alam akhirat. Sementara cenderung bersikap masa bodoh atau acuh dengan berbagai kebobrokan, penderitaan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kesemrawutan yang menimpa umat manusia di alam dunia ini.
Umat Islam “pemburu surga” sehingga melupakan tetangganya ataupun masyarakat sekitar yang tak bisa pernah berpikiran untuk “memburu surga” karena tak mampu memenuhi kelaparan perutnya.
Penulis: M. Faisal Reza.