Sirna
Tangisan menjadi luapan emosi yang selalu aku tumpahkan saat semua orang terlelap. Ruang bernuansa putih yang dahulu dipenuhi kecerian, seakan akhir-akhir ini selalu mengejek keadaanku.
Aku harus menyudahi….
Kalimat yg selalu terngiang dalam pikiranku. Kalimat yang selalu aku rapalkan jika kembali mengingat kejadian itu, kejadikan yang tidak sekali dua kali terjadi dan selalu meninggalkan luka lembam pada tubuhkan.
drrtt..drrtt.drrtt
Suara handphone itu terus berbunyi, tetapi tidak ada niatan untuk aku hentinkan hingga aku terlelap.
Kicauan burung disertai sinar yang masuk melalui celah-celah tirai jendela membangunkan tidurku, pijakan demi pijakan anak tangga mengantarkanku ke ruang yang hanya berisikan lelaki paruh baya sedang asik dengan nontonan yang ada di hadapannya.
“Kamu udah bangun? sarapan sana ayah udah buatin nasi goreng kesukaan kamu, ayah bingung padahal ayah masak terus kok kamu malah makin kurus,” ucap ayah yang kemudian kembali fokus dengan apa yang ada dihadapannya.
Perhatian, lembut, setia. Padanan kata sifat yang menggambarkan sosok ayah sebagai figur yang memiliki dua peran dalam rumah ini. Sejak dahulu aku memimpikan pasangan yang memiliki sifat seperti ayah. Ibu semasa hidupnya selalu mengagung-agungkan ayah dengan menggambarkan ayah sebagai sosok laki-laki yang paling sempurna.
“Yah aku berangkat ke kampus dulu ya, ayah jangan lupa makan,” pamit ku yang dibalas dengan senyuman dan nasihat pagi yang rutin diberikan ayah padaku.
Aku takut, takut bertemu dengannya di tempat ini, tempat yang menjadi saksi bisu aku dapat mengenal seorang lelaki yang dipuja-puja oleh seluruh penghuni kampus karena prestasi dan tingkah lakunya. Tutur kata yang begitu lembut menjadi ciri khas yang tidak dapat dilepaskan dari identitasnya. Pertemuan yang tidak disengaja mengantarkanku masuk kedalam kehidupannya yang sangat berbeda dengan tampilannya.
“Rio, ini Nisaa” teriak Tisa membangunkanku dari lamunan. Upaya yang aku lakukan untuk menghindarinya sirna, keadaan baik memang seolah tidak pernah berpihak kepadaku.
“Akhirnya Niss, kamu kemana aja? udah 3 hari kok telfon aku engga pernah diangkat? aku kelas dulu, kamu tunggu sini nanti pulang bareng,” tidak ada kata maaf dan penyesalan dari serentetan kata yang dilontarkan Rio kepadaku.
Pujian-pujian akan tingkah laku Rio barusan terus diucapkan oleh teman-temanku, mengisyaratkan untuk aku harus bersyukur memiliki Rio. Hingga tidak sadar waktu begitu cepat berlalu, satu persatu temanku pamit pulang dan digantikan oleh keberadaan Rio yang tepat berada dihadapanku. Tidak ada lagi senyum lembut yang terpampang diwajahnya seperti tadi ia berikan dihadapan teman-temanku.
“Kamu jangan buat aku emosi, gacukup kejadian-kejadian yang kemarin hah,” setiap ucapan yang keluar dariku untuk mengakhiri hubungan denganya selalu berakhir dengan bentaknya dan cengkraman tangganya pada lenganku yang membuat ku kembali mengingat tangan besarnya yang melayangkan pukulan tepat di pipi tirusku. Kaki dan badan yang tak bersalah pun menjadi sasaran pelampiasan emosi yang ia berikan kepadaku. Dan kata-kata kasar tak luput keluar dari mulutnya.
Aku diam, tidak ada perlawanan yang dapat aku berikan. Hingga aku selalu bertanya-tanya. apakah ini wajar? Apa yang harus aku lakukan? tapi pertanyaan itu tidak ada satupun yang bisa aku jawab.
“Kamu kali buat salah, makanya dia begitu,” kalimat yang selalu diucapkan saat aku bercerita tentang perbuatan kasar Rio kepada orang disekelilingku. Tidak ada keberpihakan kepadaku. Tidak ada yang membantuku menyudahi ini semua.
Semua sirna, mimpi bersanding dengan lelaki seperti ayah dalam hidupku tidak akan terwujud.
Foto : Google
Penulis: Suci Mg.