Kualitas Udara Ibukota Saat Pandemi Covid-19
Dalam masa pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) banyak warganet di media sosial menggunggah kondisi udara Jakarta yang nampak tanpa polusi. Bagaimanakah penjelasannya?
Aspirasionline.com — Sejak merebaknya Covid-19 di Indonesia, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberlakuan physical distancing guna mencegah penularan Covid-19. Jakarta menjadi daerah dengan kasus penyebaran Covid-19 terbesar. Berdasarkan laman corona.jakarta.go.id, per (30/4) terdapat 4.138 kasus positif.
Sebagai bentuk antisipasi untuk memutus mata rantai Covid-19, pemerintah menyerukan gerakan physical distancing untuk melakukan segala kegiatan baik itu bekerja, belajar dan beribadah dari rumah. Pada masa karantina mandiri di Jakarta, beberapa warganet menggunggah kondisi langit di Jakarta yang tampak cerah. Seperti pada cuitan salah satu warganet dengan username @_rainbowsmood. “Sepertinya bumi kita memang butuh istirahat dan mendetoks diri. Secantik ini langit Jakarta beberapa hari ini. Berkat Corona??? Bisa Jadi,” tulisnya di laman twitter miliknya pada (3/4) silam.
Merujuk pada data IQAIR, sebuah situs pemantau polusi udara indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada pada angka 52. Menurut Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), angka kualitas udara 50-100 sedang. Sedangkan berdasarkan lansiran data dari Katadata.co.id, nilai udara di Jakarta yang berkisar 60-90 dan tidak menimbulkan pengaruh atau bahaya besar bagi kesehatan. Namun, bisa membuat iritasi bagi sebagian individu yang memiliki sensitivitas kulit atau saluran pernapasan.
Menurut Tubagus Soleh Ahmad, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, seiring dengan berlakunya penerapan kebijakan belajar dan bekerja di rumah untuk mengendalikan penularan Covid-19, aktifitas kendaraan bermotor di Jakarta berkurang dan polusi udara kian menurun.
“Hal ini tentu merupakan kabar baik untuk masyarakat Indonesia khususnya Jakarta. Pasalnya, sebanyak 75% mayoritas penyumbang polusi udara terbanyak yaitu dari kendaraan bermotor,” jelas Bagus Ketika dihubungi ASPIRASI pada Rabu, (22/4) lalu.
Sumbangan Polusi Udara Dari Sektor Industri Masih Besar
Menurut Bagus, perubahan kualitas udara di Jakarta dapat dikatakan tidak signifikan dan fluktuatif. Ia juga mengatakan bahwa jika dilihat dari kasat mata itu cerah, namun dibeberapa titik ada level udara yang tidak baik-baik saja. “Ada perubahan dalam kondisi udara memang iya namun, tidak signifikan. Jadi termasuknya fluktuatif,” terangnya
Bagus mengatakan bahwa ia menduga pencemaran udara di Jakarta selama masa pandemi ini disebabkan oleh aktifitas-aktifitas dari sektor Industri. Karena menurutnya, saat PSBB sektor Industri sendiri belum diberhentikan, seperti Industri pembangkit yang ada di sekitaran Jakarta. “Itu beberapa catatan terkait polusi udara yang ada di Jakarta,” terangnya.
Lebih lanjut Bagus mengatakan, dari beberapa kali Walhi melakukan kontrol udara di Jakarta, walaupun polusi udara menurun, namun beberapa kali dilihat masih ada pencemaran lain. Hal ini terjadi karena masih adanya aktifitas-aktifitas industri di Jakarta.
Berdasarkan lansiran CNN Indonesia, kualitas udara DKI Jakarta pada (23/04) menurut data IQAIR dikatakan tidak sehat dengan perhitungan 62 mg/Nm3. Kualitas udara terburuk dalam dua pekan ini tercatat pada 21 April, yakni 76,1 mg/Nm3.
Menurut Bagus kualitas udara di Indonesia sendiri itu berada direntang 51-100 atau moderat, menurutnya pengukuran kualitas udara di Indonesia sendiri dilakukan setiap per-jam nya, dan akan diakumulasikan secara harian sehingga pengukuran setiap harinya akan berbeda.
“Faktor perubahan kualitas udara itu bisa berasal dari berbagai macam. Selain dari kendaraan bermotor, aktifitas industri dan sumber pencemaran lain misalnya sebaran angin juga memengaruhi kualitas udara,” ungkapnya Bagus.
Menurut Bagus, kebijakan pemerintah terkait ISPU ditetapkan dalam angka 65. Hal ini dinilai sudah tidak layak diterapkan di Indonesia. “Kebijakan ini sebenernya sudah tidak layak. Walhi sudah melakukan gugatan ke pemerintah terkait standar pencemaran udara yang ditetapkan oleh Indonesia ini,” ujar pria berusia 34 tahun tersebut.
Pria yang juga aktif menyuarakan tentang lingkungan ini menuturkan angka yang ditetapkan pemerintah Indonesia tersebut dikatakan masih sangat jauh dari standar World Health Organization (WHO). “Karena standar mereka ini jauh diatas standar, WHO sendiri menempatkan ISPU ambang batasnya itu 35,” tutur pria yang memiliki hobi travelling itu.
Berkurangnya polusi udara di Jakarta menurut Bagus berdampak baik untuk masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Manfaat dalam sektor kesehatan seperti berkurangnya dampak penyakit akibat polusi seperti asma, kanker, dan gangguan pernapasan.
“Kalau pencemaran udara yang berkurang dari adanya kebijakan belajar dan bekerja dirumah maka persoalan lainnya pasti berkurang seperti tidak macet, namun kalau sektor industri masih beroperasi menimbulkan organisme yang mati akibat pencemaran limbah industri masih terjadi,” seru Bagus.
Bagus berharap kebiasaan masyarakat Indonesia saat ini dapat berlangsung lama, meskipun masa Pandemi Covid-19 telah usai. “Kita harusnya bisa merefleksi diri, jika kita mengurangi kendaran bermotor atau sumber pencemar lain. Maka, kita akan mendapat kualitas udara yang lebih baik,” ujarnya seraya menutup perbincangan dengan ASPIRASI.
Foto: Google
Reporter: Ambar Mg. | Editor: Syena Meuthia.