Ini Bukan Kesalahan
Kala sang mentari memunculkan dirinya, aku masih terbaring lemah tak berkutik di kasur kamar. Malam demi malam aku lewatkan dengan menatap kosong dinding putih, tidak ada pikiran lain yang terlintas selain ujaran-ujaran yang aku tak sengaja dengar pada hari-hari sebelumnya. Ujaran tak menyenangkan akan kehidupan suramku.
Mereka mengatakan hal yang salah mengenai hidupku secara lantang tanpa ingin mengulik kebenaran di dalamnya. Hanya bermodalkan cuap-cuap lelaki tak berhati, semua menjadi tak punya hati juga.
“Dek, ayo bangun,” suara lembut nan menenangkan berhasil menembus pikiranku yang kacau dan semrawut.
Senyum tipis terukir di bibirku. Sesaat aku merasa disayang kembali, tetapi hanya sesaat. Suara itu menghilang bersama angin dingin yang menyambangiku sepersekiandetik lalu.
Aku sendiri lagi.
Seberat apapun tanggungan yang harus aku pikul, aku harus tetap hidup supaya dapat melebarkan senyuman wanita yang mungkin juga sedang tersenyum dari tempat yang belum bisa aku jangkau untuk sekarang.
Satu jam terasa seperti satu tahun bagiku, tiap detik tak bisa aku lalui tanpa memastikan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan, tetapi kata-kata itu kembali menghancurkannya, menghancurkan pertahanan diri yang sedang aku buat kembali. Aku ingin bangkit, namun batinku belum sanggup melakukannya.
Perlahan aku bangun dari posisi tidur dan mulai melangkahkan kakiku keluar kamar.
Pemandangan tak menyenangkan sudah tergambar jelas di hadapanku, botol-botol minuman keras berserakan, bungkus makanan dan rokok pun tak luput dari penglihatan. Pekerjaan rumah sehari-hari yang aku benci namun tak bisa aku tolak atau lebam ungu akan nampak jelas terpampang di sekujur lenganku di kemudian hari.
“Heh! Bersihin! Memang kalau diliat doang bisa bersih? Pantas saja dia pergi ninggalin lu yang nggak bisa apa-apa,” suara lelaki paruh baya yang sedang berusaha keras menopang tubuh gembulnya dengan sapu yang ada di tangan kanannya.
Aku bergegas melaksanakan perintahnya. Lelaki itu mengurungkan niat bengisnya untuk kembali menghujamiku dengan sapu kayu andalannya. Ia pun menghilang dari pandanganku, entah kemana.
Kepedihan akan kata-kata itu aku sembunyikan dengan sempurna. Sudah lebih dari satu tahun, aku selalu mendengarkan kalimat itu setiap harinya tanpa ada jeda. Lelah rasanya jiwa dan ragaku selalu disalahkan akan kematian orang yang paling dan satu-satunya yang aku sayang dan cintai di dunia. Ibuku.
Hari berlalu cepat. Bulan telah menggantikan matahari yang sudah kelelahan, sekarang waktunya aku menggunakan kekuatanku yang tersisa untuk bekerja sebagai seorang barista di sebuah kedai kopi yang letaknya lumayan jauh dari tempat tinggalku.
Perjalananku terasa hampa, lalu lalang kendaraan tak sedikitpun membuatku teralihkan dari aktivitas menatap sang rembulan untuk sekedar melamun.
Berjalan sebentar dari halte menuju tempatku bekerja tidak membuatku kelelahan ataupun mengeluarkan cicitan keluh kesah. Namun ada hal yang mengganjal, aku merasa seseorang sedang mengikutiku.
Rasa takut memang sudah menyelimuti diriku, tetapi ini bukan saat yang tepat.
“Ran, cepat dong sini, aku harus pergi habis ini,” ujar Kak Nala, seniorku disini. Aku hanya mengangguk.
Shift kerjaku pun dimulai dengan rintik hujan yang mulai membasahi Kota Jakarta malam itu. Sepanjang malam itu hujan tak berhenti turun, langit masih menyisakan gerimis yang cukup mampu membuat baju basah kuyup meski hanya berdiri diluar selama beberapa menit.
Waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh malam, ini waktunya kedai tutup, namun masih ada seorang lelaki terduduk sendiri menatap keadaan di luar dimana hujan turun semakin lebat. Tak mungkin aku tega untuk mengusirnya atau lebih tepatnya aku takut untuk sekadar mengingatkannya bahwa kami harus menutup kedai.
Bertepatan dengan pandanganku yang sedang menelisiknya, ia menangkapku. Buru-buru aku alihkan wajahku ke lain arah kecuali dirinya. Bisa kudengar derit suara kursi yang dipindah, sudah pasti sekarang ia berjalan kearahku.
“Kamu Rana, kan?”
“Kamu siapa?”
“Aku minta maaf,” ia menyorotkan tatapan penuh rasa bersalah, tetapi aku bahkan tidak mengenalnya, mungkin pernah melihatnya di suatu tempat.
“Aku yang melakukan itu padanya,” lanjutnya.
Waktu terasa tidak berjalan satu detikpun. Tenggorokanku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata, oksigen seperti habis tak tersisa saat ini. Aku menatapnya tak percaya, aku ingin memercayai bahwa dia hanya orang tidak sehat yang sedang mencari korban dari ucapan bohongnya, namun sayangnya aku gagal. Aku percaya karena dia menceritakan semuanya, menceritakannya dengan sangat detail.
“Ia ingin aku melakukannya, Ia tidak mau melihatmu sengsara, pikirnya jika ia pergi maka kamu akan bebas melakukan apa saja karena lelaki paruh baya itu akan pergi juga, tapi sayangnya tidak.”
Pelupuk mataku sudah tidak bisa menahannya, amarah dan kesedihan sudah merasuki tubuhku terlalu dalam. Aku tidak bisa menahan kesedihan berlarut-larut ini lebih lama lagi. Orang yang paling kusayang mengorbankan dirinya demi masa depanku, tetapi sayangnya hidup tidak semudah itu, aku juga ikut tersiksa sekarang karena tindakannya yang tidak menimbang risiko kedepannya.
Tubuhku gemetar karena menahan tangis, lelaki tersebut melayangkan tangannya untuk mengusap bahuku, tetapi kutangkis,
“Ibu jahat!” gumamku, “kenapa Anda baru mengatakannya sekarang? Itu kan sudah lebih dari satu tahun yang lalu?” lanjutku.
Ia terdiam, “ia bilang aku harus mengatakannya padamu saat kamu sudah … berhasil.”
Aku hanya mendecak kesal, “berhasil? seperti ini yang namanya berhasil?”
Jika ia memang ingin aku bahagia, aku akan melakukannya demi dirinya.
Bukankah tidak ada gunanya juga jika aku masih hidup namun dalam kepedihan tak berujung?
Sedangkan dia bahagia diatas sana sambil tersenyum bahagia dengan melihatku yang sengsara seperti sekarang?
Apakah itu adil? Aku rasa tidak.
Aku juga ingin bahagia seperti dia tanpa mau merasakan kesakitan yang berulang setiap malamnya selama satu tahun kebelakang. Tiap malam aku tak bisa tidur karena ketakutan akan kehadiran lelaki yang dulu kupanggil Ayah dengan nada bangga. Semuanya tidak sama lagi setelah kepergianmu, Ibu.
“Rana, kamu mau kemana?!?”
Aku melangkahkan kakiku, lebih tepatnya membuatnya berlari keluar dari kedai. Ditengah hujan yang masih senantiasa lebat mengikuti kemauan sang langit yang juga sedang tidak dalam kondisi yang bagus seperti diri ini.
Lalu lalang kendaraan yang sebelumnya tidak menarik bagiku, sekarang seakan membuat pandanganku terkunci pada mereka. Seakan jalanan menarik diriku untuk mendekatinya, untuk menghangatkan dirinya yang sedang kedinginan karena diguyur hujan yang tidak mau mereda.
Mungkin ini memang saatnya. Saatnya untuk diriku bahagia kembali seperti dulu.
Selamat tinggal kesengsaraan, aku akan merindukanmu.
Foto : Tribunnews.com
Penulis : Marsya Mg.