Pemberitaan Kekerasan Seksual Masih Buruk, Pekerja Media Butuh Pengetahuan Gender

Nasional

Pemberitaan kasus kekerasan seksual yang masih minim perspektif korban masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi media di Indonesia

Aspirasionline.com — Setara Institute menyelenggarakan diskusi bertajuk “Framing Media Terhadap Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual” pada Minggu, (2/2) di Ruang Setara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Diskusi ini dipantik oleh Anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Irine Wardhani dan Peneliti Remotivi Firman Imaduddin.

Irine Wardhani mengatakan, faktor pemeringkatan (rating) sebuah media menjadi alasan mengapa kasus kekerasan seksual seringkali diberitakan di media daring atau online. Namun, kata Irine, yang masih menjadi permasalahan adalah media-media tersebut masih saja berpihak kepada pelaku. Ditambah, hal ini masih dianggap sebagai kejahatan personal semata.

“Bukannya membuat masyarakat aware bahwa ini sebenarnya adalah kejahatan kemanusiaan,” ucapnya.

Senada dengan Irine, Firman Imaduddin turut memberikan komentar mengapa pemberitaan kasus kekerasan seksual di Indonesia seringkali tak berpihak kepada korban. Ia mengatakan, pemberitaan yang ada masih ditampilkan dengan perspektif berita yang diperuntukkan bagi pembaca laki-laki, sehingga memaklumi pelaku kekerasan seksual.

“Hingga akhirnya pemberitaan seperti ini dianggap lumrah dan biasa saja. Karena sudah terbiasa melihat itu, maka itu menjadi biasa untuk kita,” ujar Firman.

Ia juga menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia terbingkai menjadi berita porno semata. Sehingga, yang terjadi hanya memuaskan hasrat seksual laki-laki dan tidak ada pemberitaan yang berpihak kepada korban. Dalam diskusi itu Irene juga menjelaskan kebiasaan turun-temurun yang dilakukan media, hingga menjadikan pemberitaan kekerasan seksual tidak pernah berpihak pada korban.

“Hal itu disebabkan karena terjebaknya wartawan di Indonesia dengan tren berita kriminal yang sempat ramai di hampir semua berita, khususnya media televisi,” tambah Irine.

Belajar dari Media Luar Negeri

Irine juga mencoba membandingkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia dengan yang terjadi di luar negeri. Ia menyebutkan kasus kekerasan seksual disana, berspektif kepada korban. Sehingga benar-benar diadili secara tertutup selama bertahun-tahun demi melindungi korbannya.

“Bahkan mereka tidak tahu kalau korbannya LGBT,” lanjutnya.

Tidak hanya itu, saat kasusnya selesai sekalipun hanya diberikan sebuah gambaran yang menunjukkan persidangan tersebut dan korban benar benar terlindungi kerahasiaannya.

“Beda kalau di Indonesia, media melakuan framing melalui fisik,” sambung wanita tersebut.

Firman juga berpendapat mengenai pemberitaan media terkait dengan kekerasan seksual di luar negeri. Menurutnya negara maju seperti Amerika dan Inggris, tidak memandang perkosaan sesuatu yang remeh. Ia mencontohkan pemberitaan Reyhard Sinaga yang dilakukan oleh New York Times secara mendalam.

“Kasus Reynhard adalah kritik terhadap media Indonesia bahwasanya ini bisa diterapkan tidak hanya khusus untuk korban laki laki, tapi juga buat perempuan,” jelas Firman.

Namun Irine juga mengapresiasi apa yang dilakukan beberapa media di Indonesia yang telah keluar dari zona nyaman mereka dan mulai memberitakan kekerasan seksual secara mendalam.

Di akhir diskusi Irene menyampaikan pentingnya pendidikan gender bagi para pekerja media di Indonesia, tidak terbatas kepada wartawan saja melainkan juga kepada editor dan bagian pemberitaannya.

Irene juga berpendapat, saat ini wartawan perempuan tidak selamanya memiliki pemahaman gender yang mumpuni, ia justru menyatakan bahwa wartawan laki-laki lebih memiliki pengetahuan tentang gender yang bagus dibandingkan perempuan.

Menurutnya, tidak sedikit wartawan laki-laki yang punya pengetahuan gender yang mumpuni, namun tidak banyak wanita yang memiliki pengetahuan gender yang mumpuni

“Karena kalau hanya wartawan, pendidikan hanya sampai di tahap penulisan berita,” tutup Irene hari itu.

Reporter : Satrio Mg. | Editor : Fadhila Wijaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *