Buruh Menilai RUU Cilaka Memihak Pemodal dan Melanggengkan Perbudakan Modern

Nasional

Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) mendapat penolakan dari beberapa serikat buruh dan pekerja. Dimulai dari penyusunannya yang tak partisipatif, hingga isinya yang dianggap tak berpihak kepada buruh dan pekerja.

Aspirasionline.com — Pada pidato pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada (20/10/19), ia menyinggung akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law. Rencananya, Jokowi akan memasukan RUU Cilaka menjadi bagian dari Omnibus Law.

Dilansir dari kompas.com (22/10/19), Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri menjelaskan, Omnibus Law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Menurut Bivitri, nantinya RUU ini akan merampingkan regulasi dari segi jumlah dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran.

Ketua Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arip Yogiawan, menyebutkan penyusunan RUU Cilaka ini tak transparan.

“DPR seharusnya dapat membuka draft dan naskah akademik seluas-luasnya serta menyiapkan dan mengagendakan rapat dengar pendapat yang berimbang dengan masyarakat,” jelas Arip kepada ASPIRASI pada Senin, (10/2).

Arip juga menjelaskan, dalam penyusunan UU harus bersifat partisipatif, sehingga publik harus dilibatkan dalam penyusunan RUU tersebut. Termasuk diantaranya adalah memberikan akses untuk melihat naskah akademik dan dokumen.

“Namun sampai hari ini tidak ada masyarakat yang bisa mengakses draft atau naskah akademiknya,” terang Arip di hari yang sama.

Senada dengan Arip, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan penyusunan RUU Cilaka dinilai cacat prosedural. Sebab, menurutnya, masyarakat tak dilibatkan dalam penyusunannya.

Nining pun mengatakan pemerintah tidak memperlihatkan perspektif terhadap perlindungan rakyat dan pemastian hukum lingkungan yang masih lemah hingga saat ini. Bagi Nining, persoalan pertumbuhan ekonomi dan investasi bukan persoalan buruh dan rakyatnya melainkan persoalan birokrasi dan korupsi.

“Regulasi yang disusun harus melibatkan transparansi serta partisipasi publik,” kata Nining kepada ASPIRASI pada Senin, (10/2).

Potensi Mengancam Buruh dan Lingkungan

Arip Yogiawan menganggap RUU Cilaka dibuat untuk memfasilitasi investasi. Namun, bagi Arip yang menjadi masalah adalah, hal itu tidak dibarengi dengan pemberian perlindungan yang cukup terutama kepada para pekerja, buruh dan lingkungan.

Arip juga mengganggap RUU Cilaka dikhawatirkan akan mengancam perlindungan sosial terhadap tenaga kerja. Hal ini meliputi wacana perhitungan kerja berdasarkan jam, wacana penghapusan pesangon, serta masalah fleksibilitas kerja.

“Tak hanya itu, RUU ini juga dikhawatirkan dapat berujung pada status buruh tanpa kontrak hingga buruh dengan upah murah,” kata Atip

Penolakan Omnibus Law juga berkaitan dengan UU lain yang dapat merugikan rakyat bahkan negara seperti halnya RUU Perpajakan yang mengatur tentang pengurangan pajak pengusaha melalui pajak badan yang awalnya 25 persen  turun menjadi 22 hingga 20 persen.

Lebih lanjut, Arip menjelaskan yang menjadi salah satu hal yang dibutuhkan pemerintah dalam investasi adalah easy hiring-easy firing. Namun Arip menganggap konsep tersebut akan berdampak pada status kerja seperti pekerja kontrak dan pemagang.

“Konsep easy hiring-easy firing ini mungkin akan didorong dengan outsourcing karena kalau dengan status pekerja tetap tidak akan terpenuhi easy hiring-easy firing-nya,” jelas Arip.

Terkait dengan sistem pemagangan dalam RUU Cilaka, Nining menambahkan hal ini dapat mendorong adanya perbudakan modern. Karena menurutnya, hal ini membuat orientasi sistem pendidikan untuk menerapkan sistem kerja yang murah dengan dalih untuk mendapatkan sertifikasi keahlian.

Foto : Alinea.id.

Reporter : Dilla Mg. | Editor : Sekar Ayu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *