Sertifikasi di FEB Tak Lagi Gratis, Dekan: UKT Tak Mencukupi Lagi
Penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi alasan sertifikasi di Fakultas Eknomi dan Bisnis (FEB) kini mulai berbayar.
Mahasiswa FEB diharuskan membayar tanggungan biaya sertifikasi secara mandiri sejak per semester ganjil ini. Sebab, pihak FEB mengaku bahwa pemasukan dari UKT yang seharusnya bisa menanggung sepenuhnya biaya sertifikasi mahasiswa, kini ternyata tidak mencukupi.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Dekan FEB Munasiron Miftah. “Dari awal dalam perhitungan UKT sekian itu tidak semuanya membayar tingkat tertinggi sehingga tidak sesuai untuk menanggung sertifikasi,” ujar Munasiron kepada ASPIRASI pada Jumat, (29/11).
Hal serupa juga dijelaskan oleh Ketua Jurusan (Kajur) Akuntansi FEB Ni Putu Eka Widiastuti. Putu mengatakan bahwa mahasiswa yang membayar UKT pada kisaran tertinggi hanya sebesar dua puluh persen.
“UKT tidak mencukupi untuk menanggung mahasiswa itu free sertifikasi. Ternyata yang bayar full (Rp. 6.400.000, red.) itu hanya dua puluh persen, yang lain itu kisaran Rp2.000.000,” ungkapnya ketika ditemui ASPIRASI di ruangannya pada Rabu, (27/11).
Penurunan UKT yang diberlakukan kepada mahasiswa di tengah-tengah masa perkuliahan juga menjadi alasan lain lahirnya kebijakan ini.
“Karena banyak yang minta penurunan UKT, jadi tidak support menanggung semua sertifikasi. Kalau semester lalu masih bisa menjangkau pembiayaan sertifikasi,” lanjut Putu.
Di sisi lain, Munasiron mengatakan kalau pihak Universitas masih menyediakan sertifikasi yang tidak berbayar dan itu hanya satu yaitu sertifikasi dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Mahasiswa juga memilki hak akan sertifikasi tersebut.
Menanggapi kewajiban sertifikasi yang kini berbayar, mahasiswa jurusan Akuntansi Dhea Oktaviani mengaku tak keberatan. Ia berpendapat sertifikasi ini akan menjadi pegangan ketika kerja nanti.
“Karena ketika kita lulus bukan cuma gelar yang kita punya tapi juga pegangan bahwa kita pernah mengikuti sertifikasi ini,” ungkapnya.
Namun, menurutnya sertifikasi ini juga bisa memberatkan mahasiswa yang sedang skripsi. Sebab, kata Dhea, mereka harus membayar sertifikasi karena biaya yang mahal cukup memberatkan juga. Terlebih jika tidak lulus uji sertifikasi.
“Ketika kita ujian dan tidak lulus itu sangat disayangkan karena satu sertifikasi itu biayanya tidak murah,” ucapnya.
Kewajiban mahasiswa memilih tiga dari lima sertifikasi yang ada membutuhkan biaya sekitar satu juta rupiah dengan biaya berbeda-beda sesuai jenis sertifikasinya.
Belum adanya surat resmi terkait kewajiban sertifikasi
Putu menjelaskan bahwa kewajiban sertifikasi tentu berlaku sebagai penunjang Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI). Berkas yang tergolong SKPI bisa dari kompetensi profesional, pengalaman magang, mengikuti lokakarya, sampai seminar. Menurutnya, kewajiban memiliki sertifikasi ini bisa diartikan dari aturan secara eksplisit di penunjang SKPI.
“Legal untuk sertifikasi kompetensi professional itu memang di kurikulum ada attitude, behavior, dan skill. Nah, bukti skill itu dari sertifikasi itu selain magang,” jelasnya.
Munasiron mengatakan bahwa memang belum ada aturan yang menyatakan kewajiban memiliki sertifikasi ini. “Surat keputusan resmi sih belum ada,” tuturnya.
Sebab, kata Munasiron, kewajiban memiliki sertifikasi kembali lagi kepada mahasiswanya apakah mau mengikuti ujian sertifikasi atau tidak.
Kendati demikian, mahasiswa dihimbau untuk memiliki minimal tiga sertifikasi untuk menunjang Ijazah dan di kemudian hari dalam dunia kerja, seperti yang diungkapkan Munasiron. “Sekarang mahasiswa dituntut mempunyai sertifikasi, apalagi dalam SKPI mengharuskan mempunyai sertifikasi yang banyak,” tutupnya.
Reporter: Ambar, Mg. |Editor: Fadhila Firdasari Wijaya.