Mendarah Dagingnya Budaya Pungutan di Kampus Bela Negara
“Tidak ada lagi kewajiban mengeluarkan uang di luar UKT, mahasiswa tidak diperbolehkan memberikan sesuatu yang lain baik itu berupa pungutan maupun hadiah yang dalihnya ucapan terima kasih,” ucap Prasetyo
Aspirasionline.com — Budaya memberi barang, makanan, dan lain sebagainya kepada dosen didalam kehidupan kampus acapkali dianggap hal yang lumrah. Seringkali mahasiswa berdalih pemberian barang, makanan dan lain sebagainya sebagai ungkapan terimakasih ataupun balas budi kepada dosen mereka.
Salah satunya Lintang Cahya Ratri, Mahasiswa Gizi UPNVJ 2015 ini berpendapat bahwa pemberian barang kepada dosen merupakan suatu hal yang positif. Menurutnya pemberian tersebut merupakan bentuk rasa terima kasih kepada dosen yang telah membimbingnya selama skripsi hingga lulus perkuliahan.
Peneliti Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gurnadi Ridwan menilai hal tersebut lantaran budaya yang sudah melekat di masyarakat. Menurutnya budaya ketimuran yang kental membuat masyarakat sering memberi barang ke orang yang berilmu. Dalam hal ini, pemberian kepada dosen merupakan bentuk penghormatan.
Namun Gurnadi beranggapan hal ini tidak bisa menjadi pembenaran lantaran tergolong bentuk gratifikasi. “Ketika dia (dosen, red.) menerima barang kemudian mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau kelompok untuk mendapat kepentingan itu sudah bagian dari gratifikasi,” ucap Gurnadi.
Gunardi menjelaskan bahwa praktik gratifikasi sendiri tidak hanya terjadi di kampus negeri saja, melainkan juga di swasta. Ia mengatakan praktik seperti ini sangat mungkin terjadi lantaran seorang dosen dianggap memiliki kuasa atas mahasiswanya. “Ini penyalahgunaan wewenang,” tegas Gurnadi kepada ASPIRASI.
Gratifikasi sendiri dalam tataran regulasi di Indonesia mengacu pada Pasal 12 B Undang – undang (UU) Nomor 20 Tahun 2011 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan mengguakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Acapkali kita sering tak bisa membedakan antara gratifikasi, suap, dan pemeraasan. Didalam buku Mengenal Gratifikasi yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disebutkan bahwa Gratifikasi berhubungan dengan jabatan, tidak membutuhkan kesepakatan, dan bersifat invetif atau tanam budi. Suap sendiri bersifat transaksional dan umumnya dilakukan secara tertutup. Sementara pemerasan ditandai dengan adanya permintaan sepihak dari pejabat (penerima), bersifat memaksa dan penyalahgunaan kekuasaan.
Adanya Pemerasan di Keperawatan?
Tim ASPIRASI memperoleh temuan di Program Studi (Prodi) Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) mengenai adanya pemaksaan kepada mahasiswa untuk membawa makanan dalam sidang proposal skripsi hingga sidang uji skripsi akhir. ASPIRASI mencoba mewawancarai mahasiswa keperawatan untuk melakukan verifikasi terkait temuan tersebut.
Balia Ibnu, mahasiswa Keperawatan 2015 mengakui bahwa di prodi Keperawatan mahasiswa diwajibkan untuk menyediakan konsumsi kepada dosen penguji dalam bentuk makanan ringan ataupun makan siang.
“Benar itu terjadi, di setiap ujian proposal pertama ataupun ujian skripsi yang terakhir mahasiswa di suruh patungan untuk beli snack dan makan siang,” ungkap Balia.
Balia tidak sendiri. Ia mengungkapkan bahwa temannya juga mendapat perlakuan yang sama. Melalui pesan singkat mereka diminta patungan untuk membelikan makanan tersebut. Balia sendiri sudah mengetahui jika dosen penguji sebenarnya mendapatkan dana dalam pelaksanaan ujian skripsi. Kendati demikian ia menagatakan bahwa dirinya tetap memberikan konsumsi kepada dosen penguji lantaran terpaksa.
“Kalau memang dipaksa betul terpaksa, karena kita harus kasih makanan biar bisa lancar ujiannya apalagi yang disuruh menyediakan mahasiswanya,” kata Balia.
Lebih lanjut Balia mengungkapkan terkait pemberian makanan ke dosen penguji saat sidang skripsi sudah menjadi pembicaraan umum di Keperawatan. “Sudah banyak banyak pembicaraan seperti ini dari mahasiswa juga kakak tingkat saya di organisasi. Ceritanya memang persis banget, kita harus memberikan makanan dari hasil patungan yang nantinya diberikan ke penguji,” keluh Balia.
Balia juga mengungkapkan keharusan mahasiswa untuk memberikan makanan kepada dosen penguji sangat merugikan bagi mahasiswa. “Aturan jangan lagi pakai uang dari mahasiswa untuk membeli makanan,” tegasnya kepada ASPIRASI.
Konfirmasi dan Respons Kampus Terhadap Pemerasan
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FIKES Acim Heri Iswanto menyebutkan bahwa dosen yang menjadi penguji mendapatkan apresiasi dari kampus berupa honorarium. Dimana dalam proses ujian itu menurutnya memang dimungkinkan ada makan siang ataupun makanan ringan. “Dapat konsumsi itu disediakan oleh universitas,” ungkap Acim.
Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk pembelian konsumsi pihak fakultas akan berkoordinasi kepada pihak Universitas dengan melaporkan tanggal sidang. “Dan itu tinggal diminta ke universitas. Semuanya dari unversitas, kita gak belanja sendiri. Karena itu tersentralisasi di Pondok Labu,” ujarnya.
Terkait dengan adanya pemerasan di Prodi Keperawatan, Acim menyebutkan ketika berbicara pada aturan dan prinsip, maka temuan terhadap keharusan mahasiswa memberikan konsumsi kepada penguji perlu diluruskan, karena Acim menggangap itu adalah pelanggaran karena tidak sesuai aturan yang berlaku.
Lebih lanjut Acim menyebutkan dirinya tidak mau mahasiswa direpotkan dengan suatu hal diluar sidang skripsi yang akan dihadapi. “Kita gak mau mahasiswa yang harus sidang skripsi masih disibukkan juga dengan hal-hal seperti itu,” ujar Acim.
Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Prasetyo Hadi mengungkapkan pemberian konsumsi untuk dosen penguji hanya diberikan jika mereka menguji melebihi jam kerja. Selama dosen masih dalam jam kerja, menurutnya itu merupakan kewajiban dosen untuk menguji skripsi mahasiswa.
“Nah, disini dia punya kewajiban antara jam 08.00-16.00. Itu jam kerjanya. Selebihnya apabila ia ditugaskan melebihi jam yang sudah diatur maka bisa kalo diuji diberikan konsumsi,” ujar pria yang pernah menduduki jabatan Dekan FEB tersebut.
Prasetyo juga menambahkan, pada dasarnya tidak ada aturan yang mewajibkan mahasiswa untuk membawa konsumsi saat sidang skripsi. Menurut Prasetyo, kewajiban mahasiswa hanya terletak pada pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibayarkan tiap semester. “Untuk itu tidak ada lagi biaya-biaya lain yang dipungut dari mahasiswa,” tegas Prasetyo
Terkait dengan temuan di Keperawatan, Prasetyo mengatakan akan menindak lanjuti kebenaran dari apa yang telah dinformasikan. Ia menegaskan harusnya tidak ada lagi pungutan kepada mahasiswa. Jika memang ada suatu hal diluar yang di luar UKT maka harus ada Surat Keputusan (SK) Rektor yang menyertai.
“Tidak boleh tidak kalau tidak ada SK Rektornya,” kata Prasetyo.
UPN Harus Tindak Tegas Pemerasan
Dalam rangka melakukan pencegahan agar mahasiswa dan dosen sama-sama memahami bahwa pungutan dan pemberian barang dari mahasiswa kepada dosen tidak diperbolehkan, Gurnadi berpendapat bahwa tanggung jawab pihak rektorat untuk memberikan edukasi.
Menurutnya harus ada peran dari pihak rektorat untuk menghimbau para dosen baik tingkat fakultas atau di bawahnya dan agar dosen menjauhi tindakan gratifikasi. “Tiitik temu seharusnya ada di kampus, yaitu di level pimpinan Universitas. Seharusnya pihak kampusnya bisa mengeluarkan surat edaran atau memberikan himbauan agar dosennya itu menolak gratifikasi,” ucap Gurnadi.
Lebih jauh Gurnadi juga beranggapan ketika pihak universitas dan dosen sudah memiliki pemahaman untuk tidak melakukan pemaksaan dan menerima barang dari mahasiswa maka tidak akan ada toleransi terhadap gratifikasi.
“Karena dosen harus independen sesuai dengan tupoksinya, mahasiswa juga harus menghilangkan budaya yaitu jangan berharap ketika mahasiswa memberikan barang atau apapun itu berpengaruh terhadap nilai,” ucapnya.
Ditemui terpisah, Balia menilai upaya yang dilakukan pihak universitas maupun fakultas masih kurang dalam mencegah praktik pungutan ataupun gratifikasi dalam lingkup kampus.
“Kalau untuk sosialisasi terkait hal itu saya rasa tidak ada. Tapi kalau surat yang beredar dari atasan dari fakultas itu ada,” terang Balia.
Menanggapi hal tersebut, Acim sendiri mengatakan bahwa pihaknya telah mengunggah pemberitahuan larangan gratifikasi kepada mahasiswa pada laman akademik fakultas. Acim beranggapan dengan adanya pemberitahuan di laman akademik seharusnya semua orang sudah membaca pemberitahuan tersebut.
“Jadi tidak ada yang tidak tahu informasi karna semua sudah ada di website,” kata Acim
Lain Acim, lain pula Prsaetyo. Ia mengaku sudah menghimbau kepada dosen agar menolak segala sesuatu pemberian baik itu barang, makanan atau sebagainya karena itu merupakan bagian dari gratifikasi yang dilarang. Ia mengatakan bahwasanya tidak ada kewajiban bagi mahasiswa untuk memberikan apapun.
“Kalau ada terbukti misalkan seperti itu kemudian ada laporan, kita akan membentuk Tim Komisi Disiplin untuk menindaklanjuti laporan tadi,” tegas Prasetyo
Kendati demikian Prasetyo berpesan agar mahasiswa tidak lagi memberikan sesuatu yang baik itu berupa pungutan maupun hadiah yang dalihnya ucapan terima kasih. “Itu tidak ada. Tidak diperbolehkan. Apalagi ada kaitannya dengan masalah ujian sidang akhir. Ini sama sekali tidak boleh. Termasuk seperti kasus itu tadi diharuskan membawa konsumsi. Ini sangat dilarang,” ungkap Prasetyo.
Senada dengan Prasetyo, Acim menyampaikan bahwa bekerja sebagai dosen adalah bentuk pengabdian kepada negara. Menurutnya ucapan terima kasih kepada dosen adalah dengan prestasi yang nantinya akan memberikan kebanggan tersendiri bagi dosen.
“Kalau cuma ngasih barang itu masih pamrih, tunjukkan saja dengan prestasi dengan nilai yang bagus dengan karya yang bagus kemudian aktif organisasi dapat penghargaan itu udah sangat bangga dosennya dibanding hanya memberikan barang,” tutupnya kepada ASPIRASI.
Reporter: M. Faisal Reza, Sarito Pasuria. |Editor: Taufiq Hidayatullah.