Pulang

Sastra

Aspirasionline.com — Apa kabar? Lihat tanda tanya itu. Kapan-kapan kita tegur sapa lalu lanjut obrolan yang seru ya. Iya nanti, nanti saja. Aku hanya berharap kata panggilan dan tiap letupan obrolan nanti tak hanya terekam di memori dan nadiku saja. Namun, aku ingin itu mengambang dan melayang-layang di cakrawala imajinerku. Ehhh, jangan takut bosan. Karena nyanyian sukmaku akan membuat mu nyaman dan bertahan.

Juwitaku,
Di sini aku merasa kebingungan, aneh rasanya. Jarak ribuan kilo tak terasa karena cepatnya kapal terbang selama enam ribu detik bersama dosenku. Kau tahu? Karena waktu, sebagai batas yang membagi kenangan. Adalah cinta yang mengubah alur cerita. Karena cinta waktu terbagi dua. Kamu dan rindu untuk membalik masa. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti pada hati puisi ini dipisah kata-kata. Aku cuma kangen kamu. Sungguh sekangen-kangennya.

Jendela terbuka. Kekuatan angin berhasil membuat ku semakin takut. Disambung sambaran petir yang getarkan buliran air hujan untuk turun. Diam-diam hujan menampar ku. Memaksa goreskan diksi-diksi untuk tidak hening di sini. Meriang, aku meriang.

Dinginnya angin hanya memancing pelukan berupa ingin. Aku merasa gelisah dan takut. Gelisah karena pasti banyak lelaki lain yang berusaha mengirim pesan padamu. Adalah takut karena pesan mereka berisi aksara mesra untuk mu. Ragaku panasnya kian memuncak. Ku kira karena pendingin ruangan ini mati, tapi akibat tungku yang terbakar api cemburu. Aneh bukan? Tapi, itulah rasa dan aku tak menyadari jika cinta ada dan mengapa.

Wahai Humaira, aku ingin pulang. Ku mulai rindu dengan Indonesia. Perpindahan kami dari negeri Jiran ke negeri Seribu Satu Larangan sampai menepinya kami di negeri Gajah Putih terpaksa menguras tenaga dan air mata. Kau harus percaya sekarang perihal rumah. Aku baru saja terkena sihirnya. Karena memang terasa enak untuk pergi, tapi akan terasa lebih baik jika kembali. Karena kalau sudah datang jangan lupa pulang, bukan? Ingin cepat-cepat bertemu dengan ibu dan meluapkan segala rasa yang tak terbendung. Dan akan terasa sangat menyenangkan karena bisa melihat tingkah lucu mu kembali. Waktu berganti, akupun pulang dengan luar biasa gembiranya. Belum pernah ku merasakan bahagia sedemikian hebat.

Rumahku istanaku. Tanpa basa-basi diriku langsung bercerita kepada ibu. Bukan tentang pengalaman ku di sana tapi tentang dirimu.”Wahai ibuku, aku sudah menemukan pujaan hatiku sekarang. Dia seperti mu. Sederhana dalam bergaya dan sangat pandai membuat ku bahagia”. “Siapakah gerangan perempuan itu wahai anakku? Ceritakanlah dan buatlah ibumu bahagia karena mengetahui tentangnya?” pinta ibu. “Ibu, taukah engkau? Aku melihatnya seperti cermin kala itu. Adalah cermin yang memantulkan bayangan mu. Adalah nyata yang kulihat ialah Ibu.

Tapi, ku mohon ibu, ampunilah aku. Bukan maksud membandingkan mu denganya. Namun, begitulah adanya. Yang ku lihat, rasa malunya yang tinggi terhadap kami itu mendatangkan kebaikan untuknya. Kepandaiannya yang menjaga suara dengan tidak merendahkan namun ma’ruf. Tak cukup sampai itu, Ibu. Hal terkecil saja ia perhatikan seperti mu, yaitu dirinya tak berlebihan dalam memakai wewangian.

Karena ia mungkin juga tau akan pesanmu yang engkau sampaikan padaku “Berhati-hatilah, nak. Hati-hati sampai nanti jika engkau bertemu wanita dengan memakai wewangian yang tidak sekedarnya termasuk saat berpergian ke masjid. Karena sejatinya jika bau itu berhembus dan tak sengaja sampai engkau menciumnya, niscaya dalam dirimu akan ditingkatkan nafsu birahi. Maka, janganlah takut untuk menegurnya anakku. Bantulah mereka agar tak berdosa karena hal yang kecil yang tak mereka ketahui”. Bukankah begitu wahai, Ibu? Dan yang ku tau dialah wanita yang akan seperti mu tatkala berhasil melahirkan seorang anak, niscaya dia akan menerima pahala yang begitu luar biasa nikmat dan begitu juga akan ia rasakan ketika ia tak cukup tidur sepanjang malam sebab menjaga dan menemani anaknya yang sedang sakit. Begitulah dirinya wahai ibuku.

“Sungguh, jika memang benar dirinya sedemikian sholehah maka senantiasa tunggulah dia dengan sabar. Dan pantaskan dirimu dengan cakap jika memang yakin engkau menginginkannya. Karena bukankah pasangan mu itu melainkan cerminan mu sendiri wahai anakku? Namun, jika memang akan tiba waktunya engkau digariskan untuk tak bersatu atas kehendak-Nya maka ikhlaskanlah. Karena percayalah, nak. Do’a dan harapan mu dijeda karena hendak disempurnakan, dibatalkan karena ingin diganti dengan yang utama dan sedang disiapkan yang lebih baik”

Begitu saja. Nanti ya, kalau Allah berkehendak untuk kita bertemu, aku ingin sekali menyapamu tanpa malu-malu. Sekalipun kau takkan mau tau tentangku, setidaknya bacalah goresan ini. Sebagai tanda kalau ternyata ku sudah berkomunikasi dengan mu. Aku tidak ingin berhenti. Karena semakin kudiam, semakin berdarah. Dan percayalah kau takkan rugi berada di sini, kau akan tetap ada. Layaknya buku yang tak pernah selesai ku baca.

Sampai di sini dulu aku akhiri renungan cintaku padamu. Yaaa, kalau dituruti terus takkan ada habisnya toh. Yang jelas kini aku mau mencoba ikhlas. Merelakan rindu dan sayang, yang takkan pernah tau kapan datang. Sekali lagi kini hanya goresan aksara lara sebagai prasasti pengingat ku bahwa cinta ialah perihal merelakan. Namun, bila hati mu mulai penasaran maka temui aku dalam perbincangan. Niscaya ekspektasi yang kau miliki, takkan sepahit sakit hati.

Hey? Timbulkah tanya dalam benakmu yang mulai merekah?

Penulis: Nur Syafa’at.

*Kontributor tulisan ini merupakan mahasiswa UPNVJ jurusan Informatika 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *