Film KTP: Bukti Favoritisme Pemerintah dan Diskriminasi Identitas
Pemerintah hanya mengakui enam agama untuk dicantumkan dalam KTP, hal ini membuktikan sikap pemerintah yang masih diskriminatif terhadap penganut selain agama-agama tersebut.
Aspirasionline.com — Mbah Karsono ditanya agama apa yang ia anut oleh Darno. “Kejawen,” jawab Mbah. Darno, si petugas kecamatan, sontak bingung dengan agama yang tak familiar ditelinganya itu. Ia sedang bertugas untuk membuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk si Mbah supaya Mbah dapat memeroleh jaminan kesehatan dari negara.
Namun, yang ia tahu, negara hanya mengakui enam agama dan Kejawen tak termasuk didalamnya. Darno mencoba menawarkan agar Mbah mau KTP-nya dicantumkan sebagai penganut salah satu dari enam agama tersebut. Mbah Karsono tentu menolak. Ia tetap ingin ditulis beragama Kejawen. Sebab, benar adanya ia penganut Kejawen, bukan yang lain.
Kejadian barusan merupakan potongan adegan dalam Film “KTP” yang diputar dalam Diskusi Diskriminasi Identitas Agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada Kamis, (21/2) lalu di Griya Gus Dur, Menteng, Jakarta Pusat. Film ini diproduksi oleh Asa Film dengan lokasi di daerah Imogiri, Yogyakarta. Dalam film itu, Darno menawari Mbah agar mau ditulis sebagai penganut Kristen. “Ini seperti sales promotion,” komentar Okky Tirto terhadap adegan tersebut.
Okky merupakan seorang dosen sosiologi sekaligus menjadi pemantik diskusi tersebut. “Artinya kan, agama yang merupakan suatu hal yang esensial akhirnya hanya dianggap sebagai sesuatu yang administratif,” lanjut Okky.
Saat sebelum era reformasi, umat beragama atau kaum penghayat yang dianggap sebagai unofficial religion atau agama/kepercayaan yang tak diakui secara resmi oleh negara, diberikan tanda strip (-) di kolom agama KTP-nya. “Itu kan kekerasan budaya,” kata Okky. Namun, Okky menemukan bahwa kini sudah muncul sebuah peraturan yang sudah memberikan tempat bagi penghayat dalam kolom agama KTP.
Peraturan yang dimaksud Okky adalah Keputusan MK pada 7 November 2017 menyatakan negara wajib mengakui dan menulis “Penghayat Kepercayaan” dalam kolom agama yang terdapat di KTP. Meski begitu, Okky mengamati bahwa dalam praktiknya kaum penghayat masih dihadapi permasalahan saat hendak mengurus KTP.
“Misalnya, saat mengurus E-KTP. Ada isinya disitu, misalnya agamanya Baha’i. Tapi ketika diprint, keluarnya strip. Ketika di komputernya ada tulisannya, kolom agamanya ada, isinya juga ada. Tapi kenapa ketika diprint keluarnya tetap strip?” ucap Okky. Kalau alasannya adalah masalah teknis karena komputernya, Okky mendesak agar ada regulasi yang mengatur hal itu. “Sampai kiamat pun juga tidak ada hasilnya jika tidak ada regulasi,” ujarnya lugas.
Sejak KTP itu diisi dengan narasi berupa pemeluk unofficial religion, Okky juga merasa miris bahwa nyatanya kaum penghayat masih kerap mengalami keterbatasan akses-akses tertentu dalam pelayanan publik.
“Misalnya, dalam hal akte nikah, dalam hal dukcapil (kependudukan dan pencatatan sipil, red.), dan mengurus surat kematian, pegawai dukcapil ini melayani dengan setengah hati karena perbedaan agama tadi. Maka dari itu mereka seringkali diulur dan diberikan berbagai macam alasan,” terangnya.
Dalam penelitiannya, Okky juga menemukan bahwa Sunda Wiwitan dan kepercayaan lokal lainnya dimasukkan ke dalam satu keranjang golongan “penghayat”. “Kenapa nggak Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha masuk juga sebutannya? Ini kan juga menyisakan pr sebetulnya,” ucap Okky. Menanggapi bentuk kekerasan identitas ini, Okky mengeluarkan opini solutifnya. “Jadi, opsinya hanya dua sebetulnya. Tulis saja semuanya atau hapuskan kolom agamanya. Dengan itu, masalah teratasi.” katanya.
Menurut Okky, pemerintahan yang demokratis seharunya tak mengidap favoritisme. Negara tak seharusnya hanya memberi ruang kepada agama tertentu saja. Maka dari itu, diperlukan upaya penegakan yang panjang. “Upaya penegakan demokrasi, toleransi, itu masih panjang, masih butuh gerakan-gerakan yang tidak bosan-bosan sehingga kita bisa melihat bahwa revolusi mental harus dimulai dari kolom agama di KTP,” tandas pendiri Tirto Institute itu.
Pemantik diskusi lainnya, Asmat Susanto, juga memberikan tanggapan terhadap film ini dan merefleksikannya pada kehidupan realitasnya. Koordinator bidang kepemudaan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) kota Tangerang-Bekasi itu merupakan seorang penghayat yang juga pernah mengalami masalah dengan KTP.
“Di KTP saya juga masih tanda strip, alasannya formatnya belum. Baru minggu lalu saya laporkan kembali,” ujar Asmat. Asmat mengaku ia justru mengalami masalah baru, yaitu ia harus lapor lagi ke pihak kecamatan, ia mesti bolak-balik untu mengurusi KTP ke kecamatan itu.
Sebagai pengajar penghayat, ia masih mengalami ‘kesulitan’ dalam melamar menjadi guru di sekolah-sekolah. “Saya sebagai penyuluh Sunda Bimtek (Bimbingan Teknis) oleh Departemen Kebudayaan, bahkan sertifikat Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) pun jelas. Tapi guru masih saja nanya-nanya, seperti disidang,” kisahnya.
Asmat mengaku sudah menjelaskan bahwa sertifikat miliknya adalah resmi. Namun guru SD tetap tak paham. “Akhirnya ya sudah saya tidak ngajar ke sekolah. Saya balik ke sanggar, kadang di RT/RW, kadang di rumah,” ucapnya.
Terlepas dari pengalaman pribadinya, Asmat juga mengungkapkan bahwa tindakan diskriminatif lebih mentereng pada zaman orde baru. Saat itu, penghayat masih ‘tersendat-sendat’ untuk berkecimpung di sektor publik.
“Misalnya, penghayat yang sudah bisa menjadi PNS, masih perlu tertatih-tatih dalam pendekatannya terhadap atasan dan bawahan. Kemudian, setelah itu, tetap seperti ada jarak. Misalnya, atasannya muslim, tetap ada jarak. Padahal kan harusnya tidak,” ujarnya. Hal serupa juga terjadi ketika menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), ABRI atau polisi.
Menurut Asmat, tugas negara hanya melindungi bukan mengatur untuk memeluk agama tertentu. “Apa yang perlu dipermasalahkan? Memang agama tersebut tidak mencakup aturan menurut pemerintah, cakupannya agama lokal. Tapi kan tujuannya sama, menyembah terhadap Tuhan Yang Mahakuasa, selesai. Hanya saja tata cara beribadahnya beda, itu anggaplah seni bagi kita,” ujar Asmat.
Pemikiran Asmat ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” serta ayat 2 berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Berbagai tindakan yang diskriminatif karena identitas baik agama atau identitas lainnya, tak bisa dibiarkan terjadi terus-menerus. Sebab, akan semakin banyak masyarakat yang dirugikan dan rentan menimbulkan perpecahan. Pun ini tak sesuai dengan amanat slogan Bhineka Tunggal Ika.
“Saya butuhkan pertolongan teman-teman milenial untuk menyuarakan juga persoalan ini. Pesan dari saya, kita harus membantu, jangan hanya diam,” harap Asmat sekaligus menutup penuturannya sore itu.
Reporter: Nisma Mg. |Editor: Firda Cynthia