Terus Menuai Polemik, Perlukah Perda Berbasis Agama Diterapkan?

Nasional

Peraturan daerah berbasis Agama yang telah ada dibeberapa daerah di Indonesia masih menuai polemik. Apakah perda ini memang dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum atau semata-mata menjadi kaki tangan para elit politik saja.

Aspirasionline.com — Belakangan ini muncul perdebatan terkait fungsionalitas terhadap peraturan daerah (Perda) berbasis agama akibat pernyataan dari Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie. Grace mengungkapkan PSI tidak akan mendukung kehadiran Perda-perda berbasis agama.

Wasisto Raharjo, selaku Peneliti Politik Islam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa Perda berbasis agama muncul sebagai respon terhadap suatu permasalahan yang tidak bisa dijawab oleh hukum positif.  Hukum positif sendiri merupakan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam suatu negara.

Wasisto menerangkan umumnya aspek yang tercakup dalam Perda berbasis agama mengenai moral dan asusila, yang mana hal tersebut sebenarnya sudah tercakup dalam hukum positif.  “Tapi publik pun merasa itu tidak cukup, maka masuk lah konteks syariah sebagai solusinya,” ungkap Wasisto.

Ia menegaskan bahwasanya kemunculan Perda-perda berbasis agama tersebut tidaklah sebuah keharusan bagi suatu daerah tertentu. Ia mengatakan bahwa kehadiran Perda berbasis agama merupakan sebuah opsi yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. “Kita gak bisa memaksakan perda tertentu untuk diimplementasikan ke masyarakat kita yang majemuk,” ujarnya kepada ASPIRASI pada Selasa (27/11).

Lain halnya dengan Aditya Perdana, selaku Direktur Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) UI. Aditya mengatakan mengenai Perda berbasis agama yang pertama kali harus dilakukan ialah dengan  melihat dan memahami terlebih dahulu konteks yang dimaksud dalam Perda tersebut.

“Maksudnya, ketika pemerintah menawarkan Perda Syariah. Pemerintah mencoba melihat bagaimana aturan-aturan yang bersifat syariah dapat menguntungkan kelompok islam dan di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,” terangnya.

Disinlah justru menurut Aditya terdapat problematika mendasar mengenai Perda berbasis agama. Ia mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan terkait Perda tersebut apakah sudah sesuai dengan karakter masyarakat yang ada atau tidak. Kemudian Perda tersebut harus disepakati dan disetujui sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

“Karena terkadang yang terjadi adalah Perda ini hanya untuk semata-mata sebagai kepentingan politik  untuk bisa  menerapkan peraturan tapi belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” terang Aditya. Untuk itulah menurutnya masyarkat harus jeli dalam melihat kontek dari Perda yang ada, apakah untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan para elit politik.

Menambahkan pernyataan dari Aditya, Wasisto  menilai melalui Perda-perda berbasis agama tersebut rawan menimbulkan diskriminasi terhadap masyarakat minoritas yang ada. Ia menyebutkan kelompok-kelompok minoritas, kaum perempuan, serta kalangan non-muslim rentan terhadap diskriminasi yang ditimbulkan oleh Perda berbasis agama.

“Karena jelas agama itu bukan sesuatu  yang bisa ditawar, ketika itu kemudian diterapkan secara umum maka  yang menjadi korban mereka yang berbeda pandangan,” tegas Wasisto.

Dirinya juga mengungkapkan dengan meng-atasnama-kan Perda Syariah kaum minoritas yang berbeda pandangan ataupun orientasi seksual menjadi golongan yang paling rentan terkena dampaknya. Ia justru menilai melalui Perda tersebut, korban diskriminasi acap kali dilihat sebagai sebuah objek yang perlu didisplinkan atas nama agama.

“Padahal kalo secara hukum mereka juga warga negara, yang jelas dilindungi hak dan kewajibannya,” terang Wasisto.

Ia melihat kaum minoritas tersebut tidak mempunyai ruang untuk berkuasa dalam Peraturan yang ada. Wasisto berpandangan Perda Syariah yang ada di Indonesia masih bersifat chauvinistic, artinya masih melebihkan peran agama secara konstitusi, padahal secara substansinya masyarakat Indonesia beragam.

“Itu yang sebenarnya melegitimasi perlakuan yang tidak menyenangkan bagi mereka yang berbeda pandangan dan keyakinan,” tegas Wasisto. Aksi-aksi main hakim sendiri kerap kali mewarnai Perda-perda berlandaskan agama, hal ini lah yang menurutnya menjadi bertentangan oleh hukum positif yang ada.

Munculnya Perda Berbasis Agama di Berbagai Daerah

Aditya menilai kehadiran Perda-perda berbasis agama di berbagai daerah sah-sah saja. Ia mengungkapkan pada dasarnya memang ada keleluasaan bagi suatu daerah untuk membuat peraturan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka sendiri.

Akan tetapi ia mengungkapkan Perda tersebut harus tetap mengacu kepada dasar hukum yang berlaku secara nasional. Sehingga menurutnya meskipun Perda tersebut berlaku untuk suatu wilayah, belum tentu terdapat kesepahaman dalam tingkat nasional.

Ia melihat Perda yang ada saat ini berusaha untuk menonjolkan karakteristik dominan yang ada di daerah tersebut. “Di daerah tertentu mungkin nilai-nilai keagamaan menjadi kuat dan dominan, tetapi di daerah lain belum tentu hal tersebut berlaku demikian,” tegasnya.

Sementara itu Wasisto menilai munculnya Perda berbasis Injil di Timur sebagai tandingan atas eksistensi Perda Syariah yang berlaku malah semakin menggeser nilai yang coba dihadirkan melalui Perda berbasis agama.

Ia merasa Perda berbasis agama semakin melenceng dari tujuan utamanya, alih- alih menegakan moral malah melebar menjadi isu primordial. “Yang sebetulnya tidak terangkum dalam Perda berbasis agama.

Wasisto mengatakan, penerapan hukum positif di Indonesia sudah mencakup seluruh aspek yang ada sehingga penggunaan Perda berlandaskan agama tidak diperlukan. “Sebetulnya gak perlu gitu loh penerapan perda syariah, karena hukum positif sudah merangkum itu semua,” tukasnya.

Menurutnya, dengan dihapuskannya perda berbasis agama dapat ditegakkannya pluralitas dimasyarkat. Hal ini karena tidak ada suatu legitimasi eksklusif atas nama agama, selain itu juga dapat menghilangkan diskriminasi terhadap minoritas.

“Rasa kebersamaan sebagai warga Negara akan timbul, karena tidak ada lagi warga yang dianggap sebagai warga kelas dua,” pungkas pria berusia 28 tahun tersebut.

Reporter: Rafi Mg, Sulis Mg. |Editor: Syifa Aulia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *