Bersuara Untuk Kaum Minoritas
Usianya yang masih tergolong muda tak menghalanginya untuk bersuara. Tanpa kenal lelah ia mencurahkan idenya untuk kebebasan individu di negara ini. Tulisan dan argumennya menjadi wakil dari suara mereka yang diminoritaskan.
Aspirasionline.com — Perhatiannya terhadap kebebasan individu membangkitkan semangatnya untuk menyuarakan hak-hak setiap individu. Kepiawannya dalam menulis dan beragumentasi membuat wanita kelahiran 14 Januari 1995 ini menjadi panutan bagi anak-anak generasi milenial kini. Ia adalah Cania Citta Irlanie, seorang mahasiswi Strata 1 (S1) Ilmu Politik Universitas Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Editor di Geotimes, sebuah media opini pakar dan peneliti sosial-politik, sekaligus produser konten di kanal Youtube Geolive ID. Ia juga sempat bekerja sebagai Junior Expert Staff untuk Anggota DPR RI Komisi II yang membidangi politik domestik.
Kepedulian Cania didasari oleh pandangannya mengenai isu gender dan kebebasan individu sebagai sesuatu yang penting untuk dibahas. “Isu ini menyangkut kehidupan orang lain yang perlu mendapatkan suara pembelaan, sekecil apapun suaranya,” ujarnya kepada ASPIRASI pada Rabu (7/6) lalu.
Ia percaya bahwa peradaban akan menjunjung tinggi nilai kebebasan individu yang setara bagi setiap warganya. Sayang, hukum di Negara ini kerap kali berpihak pada kaum mayoritas. “Hanya karena ada kelompok masyarakat yang berisik minta ampun langsung dituruti. Padahal kan belum tentu jumlah mereka mayoritas,” tuturnya.
Melihat minimnya kepedulian terhadap kebebasan individu, Cania ingin mengedukasi publik agar mereka mengerti mengapa nilai-nilai yang ia perjuangkan pantas untuk didukung melalui suara dan tulisannya.
Selain itu, ia pun ingin mendesak hukum di Indonesia agar mau berubah menjadi lebih baik. Karenanya, ia sempat menjadi pembicara dalam beberapa forum diskusi, seperti diskusi “Netizen Sebagai Pembentuk Opini Publik” dalam Gusdurian pada Agustus silam dan forum “Gue dan Reformasi” di LBH Jakarta pada Mei silam.
Melihat Sisi Kelompok Genderitas
Gender minoritas atau yang kerap disapa ‘Genderitas’ menurut Cania ialah identitas gender dan seksualitas yang tergolong dalam kelompok minoritas, baik secara kuantitas maupun kualitas politik, yaitu Public Acceptabillity dan perlindungan hukum lemah. Terdapatnya perlindungan hukum yang lemah terhadap kaum genderitas disebabkan oleh banyaknya sisi hukum yang diskriminatif, salah satunya ialah pernikahan.
“Jangankan kelompok genderitas yang ingin menikah, mereka yang tidak beragama atau beragama yang tidak diakui oleh negara saja tidak diizinkan untuk melakukan pernikahan di sini,” ujar Cania sembari tersenyum miris.
Selain itu, hak kebebasan hidup mereka masih terancam karena diminoritaskan oleh kaum yang menganggap diri mereka sebagai mayoritas.
Jika melihat dari sisi masyarakat Indonesia saat ini, nilai-nilai primitif masih melekat sehingga sulit untuk diubah. Salah satu contoh ialah tindakan pemerkosaan. Pada dasarnya, tindakan pemerkosaan memang merupakan justifikasi dari sisi biologis seorang laki-laki untuk memenuhi hasrat seksualnya tanpa memedulikan apakah pihak perempuan menginginkannya atau tidak.
Padahal di era modern ini sudah muncul prinsip Consensual Sex, yang mana kehendak dari pihak terkait dalam aktivitas seks tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kaidah seks yang beradab. Namun, di Indonesia, masih banyak masyarakat yang tidak paham akan nilai modernisasi itu sehingga mereka mencari pihak yang dapat disalahkan dalam kasus tersebut. “Akhirnya ya begitu, menyalahkan pakaian yang dikenakan si perempuan, menyalahkan perempuan jalan sendirian, dan seterusnya,” kata Cania.
Mereka Yang Diminoritaskan
Masyarakat saat ini masih memegang teguh prinsip bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai seorang perempuan harus dapat menerima kodratnya sebagai seorang perempuan.
Mereka yang tergolong lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau yang kerap disebut sebagai kelompok LGBT merupakan perkumpulan orang-orang yang selalu diminoritaskan oleh berbagai kalangan di negeri ini.
Masyarakat menganggap aneh dan merasa terancam dengan keberadaan mereka. Padahal kenyataannya, keberadaan mereka tidak merugikan siapapun. “LGBT ya varian alami dari ragam gender dan seksualitas saja. Mereka juga hidup serba sendiri dan tidak merugikan. Jadi dianggap biasa saja, tidak perlu dibuat ribet,” ucapnya.
Pada dasarnya, kaum LGBT hanya ingin hidup layaknya manusia pada umumnya, yang diakui oleh negara dan masyarakatnya.
Salah satu hal yang melekat di pemikiran masyarakat Indonesia ialah anggapan bahwa kelompok LGBT membawa penyakit seksual yang akan menular ke masyarakat lain. Namun, jika dilihat dari sisi ilmu pengetahuan, penyakit menular seksual tidak hanya menyerang penyuka sesama jenis. Manusia penyuka lawan jenis pun dapat berpotensi terkena penyakit seksual.
“ Sulit juga kalau mereka masih berprinsip primitif, jadi mau bagaimanapun penyampaian yang sebenarnya juga tidak akan nyambung,” kata Cania.
Untuk menanggapi hal tersebut, Cania tidak hanya menyuarakan ide dan dukungan terhadap kebebasan individu di berbagai diskusi umum tetapi juga kerap mengisi kuliah umum dan seminar di berbagai kampus untuk berbagi nilai keberagaman yang telah luntur kepada mahasiswa lain.
Ia berharap melalui kegiatan tersebut perspektif pemanis sebagaimana yang disuarakannya selama ini untuk mengedepankan martabat manusia akan kebebasan dapat dimaknai dengan benar.
Selain itu, ia juga berharap masyarakat Indonesia melunturkan nilai-nilai primitif yang negatif serta tidak perlu mencampuri urusan orang lain yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Hal lain yang turut menjadi harapannya ialah agar nilai keberagaman di negara ini dapat dimaknai tanpa adanya diskriminasi dan perpecahan[.]
Reporter: Syafira Ferdiani