Pembentukkan Dewan Kerukunan Nasional, Aktivis HAM: Kita Sepakat Menolak
Pembentukkan DKN oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dinilai banyak menimbulkan penyelewengan
DKN merupakan lembaga rekonsiliasi untuk menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu dengan mekanisme jalur musyawarah mufakat atau non-yudisial bentukkan Menkopolhukam, Wiranto. Mekanisme ini tentu berseberangan dengan suara keadilan yang sejak hampir dua dekade lalu digembar-gemborkan oleh keluarga korban kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dan aktivis HAM yang menuntut penyelesaiannya melalui mekanisme jalur hukum atau yudisial.
Dikutip dari Quo Vadis bahwa DKN bukan komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (kontraS). DKN juga tidak bisa menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Wacana pembentukkan DKN banyak menimbulkan penyelewengan yakni maladministrasi wewenang dan sifatnya inkonstitusional. Padahal, merujuk Perpres 7 tahun 2015 dan Perpres 43 Tahun 2015, kewenangan Menkopolhukam hanya bersifat koordinasi. Sehingga bentuk inisiasi dan keputusan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme DKN oleh Menkopolhukam telah melampaui wewenang.
Langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi karena mengangkat Wiranto justru membawa pertanyaan kritis dikepala publik. Wiranto yang notabenenya merupakan pihak yang seharusnya dimintakan pertanggungjawaban dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu justru diberi kepercayaan penuh dalam memegang kendali konsep dan langkah-langkah penyelesaian HAM berat. Seperti yang kita ketahui bahwa Wiranto terlibat dalam Tragedi Trisakti, Semanggi I-II, Biak Berdarah, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 serta penyerangan 27 Juli. Pemberian setir kepada Wiranto ini membuat Jokowi terlihat paradoks dengan konsep Nawacitanya yang hendak menuntaskan penyelesaian HAM berat masa lalu.
Koordinator Kontras, Yati Andriyani menyatakan ada dua masalah yang muncul jika DKN diwujudkan. Pertama, pengagas dan inisiator lembaga ini dinilai sudah cacat moral–Wiranto. Walaupun belum ada proses pengadilan, mereka yang terduga seharusnya diminta pertanggungjawaban. Kedua, jika dilihat dari sisi konsepnya, penyelesaian kasus yang menindas HAM banyak orang pada masa lalu dengan cara kekeluargaan dinilai begitu irasional.
“Bayangkan, apa ini menyangkut persoalan ribut antar tetangga atau antar kampung terkait isu sosial? Ini adalah persoalan dimana ada sekian orang yang jumlah korbannya sudah banyak sekali, lalu dibunuh, ditangkap, dan ditahan sewenang-wenang oleh aparat negara,” kata Yani saat Diskusi Publik DKN Bukan Solusi pada 28 Juli silam. “Pembentukkan DKN ini seperti joke yang luar biasa ditahun ini jika pelanggaran HAM berat diselesaikan dengan musyawarah mufakat dengan dianggap ada ‘kerukunan’ di dalamnya,” lanjutnya.
Lagu Lama Impunitas yang Diulang
Salah satu korban Tragedi Tanjung Priok, Wang Maryati mengatakan DKN bukanlah sebuah jalan penyelesaian. Ia juga menyamakan cara Wiranto seperti Tri Sutrisno dalam upaya menyelesaikan kasus Tanjung Priok silam. “Kalau Sutrisno membodohi kami dengan islah, maka sekarang sama, Wiranto membodohi kami dengan DKN,” tutur Wang saat memberikan testimoni pembentukkan DKN pada diskusi publik tersebut. Menurut Wang, DKN seperti makhluk baru yang bertransformasi dari zaman ke zaman dalam peta sejarah pelanggengan impunitas yang digalakan pelaku-pelakunya.
Senada dengan Wang Maryati salah satu anggota dari YPKP’65 bernama Untung juga menolak pembentukan DKN. “Kalau DKN diwujudkan, itu berarti sama saja akan melanggengkan impunitas dan menganulir sistem hukum di Indonesia. DKN lahir dari semangat orang-orang yang memang berseberangan dengan ide yang mengungkap kebenaran,” tuturnya siang itu. Untung juga beranalogi jika ada mobil ditabrak, satu hal yang paling wajar adalah si penabrak meminta maaf. Namun, dalam konteks kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965 lalu, negara sampai saat ini masih persisten tidak mau minta maaf. “Ini menyakitkan,” curahnya.
Konflik kepentingan objektivitas yang terjadi dalam tubuh DKN dikesankan adanya eufemisme kata ‘kerukunan’. Kata ini justru seperti sebuah refleksi dari penginisiatornya–Wiranto, untuk ‘mencuci tangan’. Hal ini juga dinilai akan memperkeruh keadaan dan menciptakan distorsi di ruang publik terkait mekanisme penyelesaiannya.
Rekomendasi
Beberapa lembaga sosial masyarakat (LSM) dibidang perjuangan HAM seperti KontraS dan Imparsial, yang mewakili dalam diskusi publik tersebut mengutarakan solusinya agar segera dibentuk Komite Kepresidenan yang berada di bawah mandat presiden dan bertanggungjawab pada presiden. KontraS juga merekomendasikan untuk membatalkan DKN dan segera menggantikan posisi Wiranto sebagai Menkopolhukam untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan figur-figur yang tidak bermasalah secara hukum dan HAM. Serta, menginstruksikan Kejaksaan Agung agar melakukan penyidikan masalah HAM berat masa lalu pada tahun ini.
Pembentukkan DKN tidak dapat menjawab apa yang keluarga korban dan para aktivis HAM usulkan. Pada prinsipnya, DKN hanya menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan bermusyawarah mufakat tanpa adanya pengungkapan kebenaran dan pemberian keadilan pada korban dan keluarga korban. DKN akan sangat rentan menutup ruang keadilan dan kebenaran.
Reporter: Firda Cynthia |Editor: Hasna Dyas