Wajah Pernikahan Masyarakat Betawi

Culture Kuliner

Pernikahan yang mengusung adat betawi memiliki tradisi yang salah satunya adalah penyerahan roti buaya. Tak hanya sekedar seserahan, terdapat latar belakang dimulainya tradisi tersebut.

Aspirasionline.com – Mayoritas orang asli Jakarta atau yang biasa disebut Suku Betawi tentu mengenal roti buaya. Roti yang berbentuk seperti buaya asli ini kerap kali hadir dalam suguhan di pernikahan yang mengusung adat Betawi dari zaman dulu hingga sekarang. Roti buaya biasanya dibawa oleh mempelai laki-laki pada acara seserahan ke rumah mempelai wanita.

Tak hanya roti buaya, ketika prosesi seserahan, menurut Eni, salah satu tokoh budayawan Betawi di Rawamangun, mempelai laki-laki juga memberikan seserahan lain seperti uang tunai, baju encim, perhiasan dan lain sebagainya. Meski begitu, menurutnya roti buaya memiliki peranan yang sangat penting dan wajib hukumnya dalam prosesi tersebut. “Gak afdal (lengkap, red) kalo kata orang zaman dulu kalo menikah enggak ada roti buaya,” ujar Eni yang akrab dipanggil Een ini kepada Aspirasi Desember lalu.

Alasan tidak lengkapnya suatu pernikahan tanpa roti buaya menurut Een dikarenakan orang Betawi zaman dulu percaya kalau buaya adalah simbol dari kesetiaan. Hal ini dikarenakan buaya yang hanya kawin sekali seumur hidup, sehingga diharapkan bahwa rumah tangga yang terjalin nanti, akan awet sampai akhir hayat.

“Makanya  dipilih buaya karena dia setia, Coba kalau kucing atau binatang lain kan bisa berabe,” guraunya sambil diselingi tawa. Tak hanya sekedar lambang kesetiaan, buaya juga dianggap hewan yang besar serta kuat hingga menjadi simbol kegagahan dan kekuatan bagi mempelai laki-laki untuk meminang serta menafkahi mempelai wanita.

Selain dari segi simbolis, Een juga menambahkan bahwa pada asal muasalnya roti buaya hadir karena sebuah cerita rakyat yang mengharuskan orang yang ingin menikah untuk membawa seekor buaya. Hal ini dirasa sulit bagi pihak laki-laki, akhirnya segala macam cara dilakukan untuk menggantikan syarat tersebut. “Dimulai dengan dibuat kayu yang diukir menyerupai buaya, handuk yang dibuat dengan bentuk buaya dan lain-lain,” jelasnya.

Lambat laun masuklah kebudayaan Belanda yang menganggap roti sebagai barang yang mewah dan tidak semua orang bisa memakannya. Akibat hal tersebut, dibuatlah seserahan buaya itu dalam wujud roti. Hal ini dapat mengindikasi kemapanan yang dimiliki oleh pihak mempelai laki-laki untuk dilihat sejauh mana ia mampu menafkahi keluarganya kelak.

Meski telah berwujud roti, pada mulanya roti buaya tidak untuk dimakan dikarenakan sifatnya yang sakral. Sehingga hanya diperbolehkan untuk dipajang. “Tapi kite orang betawi kebanyakan (agama, red) Islam jadi takut mubazir ntu (itu, red) roti. Jadi boleh dah tuh dimakan,” katanya sambil bersemangat menggunakan Bahasa Betawi yang kental.

Latar belakang sejarah yang kuat mengenai roti buaya itulah yang dinilai harus dipertahankan sebagai salah satu warisan budaya betawi yang sampai sekarang masih ada. “Harapannya semoga tradisi betawi yang udah lama kayak begini tetep diterusin gitu sampe anak cucu, tetep dijaga, tetep dilestarikan. Pokoknya Jangan sampe kite males buat lestariin budaya asli kite,” tutup wanita tersebut.

Reporter : Yuris Mg. |Editor : Ida Sapriani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *