Eksistensi Bahasa dan Tingkat Literasi di Era Digital
Pudarnya minat berbahasa daerah dikalangan pemuda hingga rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia dalam era digital
Aspirasionline.com – Digitalisasi merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, justru kian penting dikehidupan di dunia. Penelusuran eksistensi sastra dan bahasa di era digital menjadi landasan diadakannya seminar Digitalisasi Sastra dan Bahasa oleh program studi Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Rabu (20/12) silam.
Digitalisasi juga memiliki peran penting terhadap bahasa dan literasi. Sayangnya, dalam kehidupan masyarakat Indonesia kesadaran mempelajari bahasa hanya tertuju pada bahasa asing hingga menghilangkan minat kepada bahasa daerah.
Dalam paparannya Erlangga Greschinov mengungkap kepunahan bahasa daerah bukan suatu yang mustahil terjadi apabila masyarakat Indonesia juga tidak memberikan porsi yang seimbang antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. “Misal saya orang Sunda pergi ke Timur Tengah malu ngomong bahasa Sunda jadi pakai bahasa Indonesia. Akhirnya eksistensi bahasa Sunda memudar,” jelasnya.
Erlangga yang juga merupakaan pendiri Komunitas Fakta Bahasa mengatakan anak muda cenderung berminat mempelajari bahasa asing dibandingkan bahasa daerah. “Di komunitas fakta bahasa anak-anaknya cenderung lebih suka ke bahasa asing. Lupa kalau ada club bahasa daerah,” ungkap pria berkaca mata tersebut.
Meski demikian Erlangga juga menuturkan bahwa Bahasa Indonesia menempati posisi ke enam sebagai bahasa yang mempengaruhi dunia internet. Namun, meski secara digital bahasa Indonesia dapat menjadi sebuah kekuatan, tidak membuat tingkat literasi masyarakat Indonesia dapat dikatakan baik.
Hal tersebut terlihat dari jumlah karya yang dihasilkan. Erlangga mengungkap bahwa hanya sekitar 485 buku Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing. “Kita tahu negara Indonesia lebih makmur dibandingkan Bangladesh, tetapi karya-karya Bangladesh lebih banyak diterjemahkan. Begitu pula karya Jepang yang diterjemahkan ada sekitar 26 ribu,” ucapnya.
Menurut Erlangga masyarakat Indonesia cenderung lebih suka merumpi ketimbang membaca, sehingga sedikit sekali membuat konten-konten yang bermanafaat dan juga bermutu. Akibatnya, berita yang tidak benar alias berita hoaks mudah sekali tersebar dikalangan masyarakat. “Orang Indonesia itu kecenderungannya bangsa ngerumpi bukan bangsa membaca. Dan itu juga yang menyebabkan kenapa hoaks banyak bertebaran,” jelasnya.
Prokem dan Perkembangan Bahasa
Pengertian prokem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu ragam bahasa dengan leksikon tertentu digunakan oleh kaum remaja. Erlangga menjelaskan bahasa prokem mulai muncul sejak runtuhnya Uni Soviet. “Bahasa-bahasa ini dikembangkan oleh orang yang terbelakang, orang-orang tahanan Uni Soviet,” jelasnya.
Dalam paparannya ia kembali menjelaskan prokem bukanlah suatu hal yang harus dihindari, tidak juga berarti dapat diterima begitu saja. Penggunaan bahasa prokem kembali harus melihat situasi dan kondisi. “Jika bersama teman ya sudah pakai saja. Kecuali berkomunikasi dengan dosen, tak sedikit mahasiswa yang berbicara dengan dosen kurang memperhatikan kata-katanya,” ungkap Erlangga.
Pada sesi tanya jawab, salah seorang perserta menanyakan terkait kemungkinan pekembangan bahasa prokem yang memungkinkan untuk memperkaya bahasa, ia menjelaskan untuk menambah kosa kata baru tidaklah mudah, terdapat banyak pertimbangan untuk dapat dimasukkan ke dalam bahasa baku, salah satunya kosa kata tersebut digunakan masyarakat luas dan konsisten atau berlangsung sangat lama. “apabila bahasa prokem itu muncul hanya di saat tertentu dan dalam waktu yang singkat. Maka akan sulit dimasukkan ke kekayaan bahasa,” pungkasnya.
Reporter : Syifa Mg. |Editor : Maharani Putri