Mengupas Kehidupan Sang Konseptor Republik Indonesia
Aspirasionline.com –
Judul : TAN MALAKA- Bapak Republik yang Dilupakan
Penulis : Yandhrie Arvian, dkk.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun : 2015
Tebal : Xx + 184 Halaman
Barangkali sebagian masyarakat Indonesia jarang mendengar nama Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional, atau hanya sebatas tahu saja, tapi tak mendalami. Untuk menguak siapa sosoknya, kiranya rujukan yang tepat adalah buku yang bertajuk TAN MALAKA- Bapak Republik yang Dilupakan. Buku seri Tempo ini dapat menjadi penawar nafsu keingintahuan tentang kehidupan Tan, mulai dari masa kecilnya, kisah percintaannya, hingga jejak langkahnya dalam menghadapi pergolakan politik di Indonesia. Semuanya dikupas dalam buku setebal 184 ini.
Di lahirkan di Pandan Gadang, Sumatera Barat pada 2 Juni 1987 nyatanya menumbuhkan tiga ideologi yang mendasari dirinya. Ialah Komunisme, Pan-Islamisme, dan Nasionalisme. Dalam sejarah, seorang komunisme dikenal sebagai seorang anti Tuhan, namun tidak dengan Tan. Ketiga ideologi itu telah lama bersemai dan bersatu padu dalam dirinya. Ia justru menghimbau agar komunis bisa sama-sama berjuang dengan pan islamisme dalam melawan kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.
Dalam memerdekakan Indonesia, perjuangan Tan layaknya Che Guevara, seorang tokoh revolusi Kuba yang bersafari mengelilingi Amerika Latin, dengan perjuangannya yang begitu revolusioner. Mungkin lebih dari Che Guevara, Tan berjuang sendirian dengan menjelajahi 11 negara diantaranya ialah Belanda, Jerman, Rusia, Tiongkok, Hongkong, Filipina, Myanmar, Malaysia, Singapura. Pada saat itu, Tan menjadi buronan dan dicari-cari oleh polisi kolonial. Agar tak tertangkap, maka ia pun mengganti namanya dengan nama samaran, seperti Ramli Hussein, Ilyas Hussein, Hasan Gozali, Ossario, Ong Song Lee, dan Tan Ho Seng.
Biarpun berat ujian yang Tan hadapi, namun perlu dicatat bahwa ia sempat menelurkan beberapa karya. Buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) adalah buku pertamanya yang membahas konsep Republik Indonesia.
“Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), Bung Karno, yang menulis, Menuju Republik Indonesia Merdeka (1933).”
(Halaman 3).
Maka Tan pantas disebut sebagai sang konseptor bangsa ini. Lalu ia juga menulis buku Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), yang berisi tentang penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis. Karya Tan lainnya yaitu Massa Actie (Massa Aksi), dalam buku tersebut ia membongkar kultur takhayul yang telah lama mengendap pada bangsa ini. Ia juga memperkenalkan macam-macam imperialisme, mengartikan revolusi dan menunjukkan betapa hebatnya kekuatan rakyat.
Menyibak Tan dalam Lembar Masa Lalu
Tak hanya membahas perjuangan Tan dalam merenggut kemerdekaan, tetapi buku ini juga mengajak pembaca untuk mengungkap bagaimana masa lalunya. Dilahirkan dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka, Tan kecil lalu dikenal sebagai Ibra. Sosok kecilnya tergambar seperti anak yang nakal.
Soal Bandel dan nekat ini dikisahkan Tan dalam Dari Penjara Ke Penjara I. Ketika mengunjungi ayahnya yang ditugaskan di Tanjung Ampalu, Sawahlunto, Ibra ditantang anak-anak setempat buat menyebrang sungai ombilin. Orang dewasa pun kewalahan menyeberang sungai selebar 50 meter itu karena arusnya deras, tapi Ibra memenuhi tantangan itu. “Maka tewaslah napas dan hilanglah ingatan diombang-ambingkan ombak deras.”
(Halaman 95).
Karena keberanian Tan menyeberangi sungai Ombilin dengan arus yang deras, maka tubuhnya terapung di sungai. Beruntung seorang teman bertubuh besar menyeretnya ke tepian sungai. Atas tindakannya itu, ia harus menerima pukulan rotan dari ibunya, Sinah. Tetapi baru beberapa kali dipukul, ayahnya yang bernama Rasad mengganti bentuk hukuman itu dengan mengikat Tan di pinggir jalan, dan Tan kecil pun menjadi tontonan.
Selain nakal, Tan juga merupakan sosok religius dan cerdas. Sosok cerdas Tan terlihat ketika guru-guru di Sekolah Kelas Dua mengaguminya. Para guru itu kemudian merekomendasikan Tan untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Guru Negeri untuk Guru-guru Pribumi di Fort de Kock (Sekarang Bukit Tinggi), yang mana merupakan satu-satunya lembaga lanjutan bagi lulusan Sekolah Kelas Dua setelah menempuh pendidikan lima tahun.
Untuk menembus ke Sekolah Guru Negeri di Fort de Kock ternyata bukan perkara yang mudah. Hanya anak ningrat atau pegawai tinggi yang dapat bersekolah di sana, sementara orang tua Tan hanya bekerja sebagai pegawai rendahan. Para guru Sekolah Kelas Dua pun mengusahakan agar Tan dapat bersekolah di sana. Hingga akhirnya Tan terdaftar di Sekolah Guru Negeri Fort de Kock pada tahun 1907.
Semasa hidup, Tan pernah terlibat dalam urusan asmara. Tercatat ada 6 perempuan yang pernah dekat dengannya. Keenamnya berasal dari latar belakang dan negara yang berbeda. Tersebutlah salah satunya, Syarifah Nawawi, perempuan minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Tetapi hubungannya dengan Tan hanya sekedar teman, cinta Tan kepada Syarifah bertepuk sebelah tangan. Lalu Tan juga sempat bertunangan dengan Paramitha Rahayu Abdurrachman, perempuan keponakan Menteri Luar Negeri, Achmad Soebardjo. Namun hubungannya tak sampai pelaminan.
Melalui buku ini, pembaca dapat mengubah anggapan bahwa tak semua buku sejarah itu membosankan. Sebab, buku seri Tempo ini begitu mudah untuk dipahami. Selain ada penjelasan panjangnya, juga ada penjelasan ringkasnya yang disertai dengan angka dan ilustrasi sehingga sama sekali tidak monoton. Dengan kisah yang ditulis secara ciamik nan menyenangkan menjadi kelebihan tersendiri. Kalau dicermati pun, tidak banyak buku yang membahas tentang Tan, terlebih sosoknya yang bertalian erat dengan komunisme.
Tidak berhenti sampai disitu, penulis beranggapan bahwa buku ini mampu mencerahkan pikiran para pembaca, juga dapat menyibak siapa sosok Tan Malaka itu, sebagaimana figurnya yang selama ini seakan tenggelam dalam lautan sejarah bangsanya sendiri. Secara pribadi, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil, salah satunya adalah semangat dalam memperjuangkan Indonesia. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar sosok Tan dapat menjadi rujukan dalam bahan berbenah diri.
Penulis : Ardhi Ridwansyah |Editor : Tri Ditrarini Saraswati