Kesimpangsiuran Pedoman Membawa Banyak Revisi
Kebingungan dialami mahasiswa dalam pengarsipan skripsi ke perpustakaan pusat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan format antara perpustakaan fakultas dengan perpustakaan pusat yang berujung kepada penolakan.
Aspirasionline.com – Sejumlah mahasiswa UPNVJ yang ingin mengumpulkan skripsi ke Perpustakaan Pusat untuk pengarsipan, mendapat penolakan. Hal ini terjadi akibat adanya ketidaksesuaian format penulisan skripsi. Padahal, skripsi mereka sebelumnya telah diterima oleh perpustakaan fakultas masing-masing. Sedangkan pengumpulan skripsi ini merupakan salah satu syarat pengambilan ijazah.
Perbedaan format yang ada biasanya terletak pada bagian lembar judul, lembar pengesahan, dan riwayat hidup. Luthdy sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Hukum (FH) angkatan 2013 mengatakan bahwa perbedaan format yang terjadi diakibatkan oleh kurang sempurnanya penyebaran pedoman penulisan sehingga terjadi pedoman ganda dalam pembuatan skripsi.
“Jadi kita ada dua pedoman, yaitu dari perpustakaan fakultas dan Perpusat (Perpustakaan Pusat, Red). Tapi saya baru tau ada pedoman itu setelah berkunjung ke perpusat,” ujarnya. Ia berpendapat bahwa lebih baik hanya ada satu pedoman yang disebarluaskan. “Kalau di perpusat seperti ini, yaudah bawahnya (perpustakaan fakultas, Red) ikut juga, jadi tidak ada perbedaan,” tambah lelaki berkumis itu kepada ASPIRASI pada Kamis (16/3) siang.
Kurangnya koordinasi antara beberapa pihak ditengarai menjadi penyebab perbedaan pedoman ini. Putri Vika Noerindah, mahasiswi tingkat akhir Ilmu Komunikasi Fakultasi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) mengungkapkan bahwa hal ini terjadi akibat adanya keterlambatan dalam sosialisasi kepada mahasiswa dan mahasiswi tingkat akhir yang akan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) dan skripsi.
“Sebenarnya memang sudah ada buku panduannya, kita dikasih tau kalau ada buku pedomannya itu dari awal atau dari masa-masa menuju pembuatan skripsi. Namun, aku baru dapat pengarahan saat skripsi sudah jalan tiga perempat. Aku sendiri pun ada kesalahan penulisan, misalkan format aku kayak gini tapi pas disesuaiin sama perpusat ternyata salah,” ujar wanita yang gemar memasak ini.
Ketika ditemui oleh ASPIRASI pada Jumat (17/3) lalu, Purwadi selaku pengurus Perpustakaan di FISIP mengatakan bahwa selama mahasiswa sudah memiliki persetujuan dekan maka mereka dapat mengarsipkan skripsinya. “Yang saya tahu di FISIP kalau sudah ditandatangani dekan ya sudah, tidak perlu ada penyesuaian format,” tegas pria berkumis lebat ini.
Kepala Lembaga Pengembangan, Pendidikan, dan Penjaminan Mutu (LP3M) Intan Hesti menjelaskan bahwa format penulisan sebenarnya telah dibakukan dengan mengikuti Pedoman Penyusunan Karya Ilmiah yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM). Dalam penulisan karya ilmiah, termasuk skripsi semua komponen kampus telah diwajibkan untuk mengikuti pedoman tersebut. Karena itu, pedoman penulisan skripsi di fakultas pun menjadi tidak diperlukan. “Namun, setelah penegerian ini kita belum melakukan peninjauan ulang,” ujarnya kepada ASPIRASI, Selasa (21/3).
Berbeda dengan keterangan yang disampaikan mahasiswa, pustakawan perpustakaan pusat Saidun Sinaga mengaku bahwa tidak ada mahasiswa yang skripsinya ditolak akibat kesalahan format. Bahkan, pihaknya justru membantu mahasiswa memperbaiki skripsi yang memiliki kesalahan format. “Kecuali kalau di sini jumlah skripsi yang masuk sedang penuh, baru mahasiswanya kita suruh revisi sendiri,” jelasnya pada Jumat (17/3) pagi.
Menurut Saidun, perbedaan format penulisan terjadi akibat adanya perbedaan instruksi dari dosen pembimbing skripsi. “Perbedaan itu kemungkinan diakibatkan oleh kesalahan dosen pembimbing skripsinya. Kadang mereka kan mengikuti format penulisan universitasnya dulu, ” tuturnya.
Terkait hal tersebut, salah satu dosen pembimbing skripsi FH Khoirur Rizal berpendapat bahwa panduan skripsi seharusnya diatur oleh fakultas masing-masing. Hal ini dikarenakan setiap program studi (prodi) memiliki selingkung yang berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing prodi.
“Misalnya dalam penelitian-penelitian sosial, termasuk hukum di dalamnya, teknik citasi menggunakan footnote dianggap lebih tepat ketimbang teknik citasi lain. Berbeda dengan penelitian-penelitian eksakta. Dimana, justru footnote dianggap tidak efisien, sehingga bodynote dianggap lebih sesuai kebutuhan,” jelasnya.
Pria kelahiran Lampung ini mengaku bahwa terkadang dirinya sering diberitahu mahasiswa terkait adanya penyesuaian tersebut. “Tapi begini, coba anda benchmark dengan beberapa kampus besar yang sudah mapan. Seperti UI, UNJ, dan UIN misalnya. Apa iya semua program studi yang ada diharuskan untuk memiliki format yang sama?” tutupnya kepada ASPIRASI.
Reporter : Berlian Mg. , Syafira Mg.