Mengupas Polemik Fatwa MUI
Aspirasionline.com – Kamis, 9 Februari 2017 Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI) telah menggelar Diskusi Publik yang berjudul “Masih Perlukah Fatwa MUI?” yang bertempatan di Auditorium Djoko Soetono FHUI. Diskusi ini diadakan guna menjawab secara akademis perdebatan-perdebatan mengenai fatwa MUI. Narasumber diskusi ini ialah para pakar di bidangnya masing-masing, diantaranya Huzaemah T. Yanggo (Ketua MUI Bidang Fatwa), A. Mukti Arto (Hakim Agung MA), Asrul Sani (Anggota Komisi III DPR-RI), dan Yeni Salma Barlinti (Pakar Hukum Islam FHUI), Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara).
Huzaemah selaku pembicara mengatakan bahwa fatwa masih diperlukan dan bahkan fatwa MUI seringkali memperkuat program pemerintah. Selain itu ia juga menjelaskan selayang pandang MUI, mekanisme pembentukan fatwa beserta contoh-contohnya. Dilanjutkan oleh A. Mukti Arto yang juga setuju bahwa fatwa MUI masih diperlukan. Ia mengatakan bahwa banyak sekali fatwa MUI yang dalam konteks peradilan agama, digunakan sebagai salah satu sumber hukum, dan malah undang-undang tidak digunakan. Ia juga berpandangan bahwa MUI harus tetap menjaga independensinya. “Kalau misalnya MUI itu dinegerikan, ah payah tuh nanti, bisa-bisa fatwanya nanti diatur, akhirnya fatwa bukan berdasarkan ketuhanan, tapi kepentingan,” ujarnya sambil diikuti riuh tawa serta tepuk tangan para peserta diskusi.
Tidak jauh berbeda dengan narasumber sebelumnya, Asrul Sani juga sependapat bahwa fatwa MUI masih diperlukan. Ia mengatakan bahwa fatwa itu jelas bukan hukum positif. Meskipun bukan hukum positif, tapi fatwa ini memiliki makna yang sangat mendalam di kehidupan hukum kita. Fatwa itu bahkan lebih dari hukum positif. Karena banyak dari kita yang lebih taat pada fatwa dibandingkan dengan hukum positif, terlebih jika hukum positif yang tidak memiliki sanksi. Asrul juga menjelaskan bahwa banyak fatwa yang merupakan cikal bakal peraturan perundang-undangan. “Jadi saya ingin tekankan, kalau misalnya ada elemen-elemen pemerintah yang mengatakan bahwa fatwa MUI itu tidak diperlukan lagi, maka dia itu anti historis,” ujar Asrul di penghujung pemaparannya. Tak ketinggalan pula, Yeni Salma yang merupakan Pakar Hukum UI ini memaparkan hasil disertasinya tahun 2010 yang memiliki korelasi dengan diskusi publik kali ini.
Ketua LKIHI FHUI, Heru Susetyo, berharap bahwa acara diskusi publik ini bisa memberikan kontribusi untuk pengembangan Hukum Islam di Indonesia, juga melahirkan ide-ide cerdas dan terobosan-terobosan menarik. “Karena bagaimanapun juga, Hukum Islam adalah satu bagian dari sumber hukum yang hidup as the living law di Indonesia. Sehingga meniadakan fatwa MUI, sama saja dengan menegasikan Hukum Islam yang eksis di Indonesia,” ujarnya.
Reporter: Mega Mg. |Editor: Sandy