
Liberalisasi Pendidikan dari Sudut Pandang Mahasiswa
Aspirasionline.com – Pendidikan bukan lagi hal yang lumrah dibicarakan masyarakat umum, seperti yang tercantum pada Pasal 31 ayat 1 “Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan”. Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) mengadakan diskusi terbuka untuk membahas mengenai apa saja yang harus mahasiswa tuntut atas hak pendidikan, yaitu hak yang telah di janjikan negara pada Jumat (2/12) di Taman Lingkar UI.
Diskusi umum yang dilaksanakan pada sore itu bertema Menyikapi Liberalisasi Pendidikan di Indonesia yang diselenggarakan oleh 4 organisasi Mahasiswa UI, yaitu Front Mahasiswa Nasional (FMN UI), Peduli Kampus (PEKA UI) , Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII UI), dan Serikat Mahasiswa (SEMAR UI) yang berlangsung dari pukul 17.00 WIB.
Diskusi ini dibuka oleh Syaroful Umam selaku perwakilan dari PMII dengan penekanan bahwa diskusi ini merupakan proses penyadaran, dimana gabungan antara organisasi-organisasi yang perhatian dalam bidang pendidikan. Ia menjelaskan bahwa PMII menginginkan adanya kajian, penelitian, dan kerjasama dengan pihak internal mengenai pendidikan yang ada, kajiannya membahas biaya ideal dengan fasilitas yang telah diberikan.
Johannes Bosco, selaku perwakilan FMN UI, awalnya menjelaskan mengenai esensi dasar dari pendidikan. “Pendidikan membuat dari yang tidak ada menjadi ada, yang buruk menjadi baik, juga memanusiakan manusia dan memiliki peran dalam perkembangan zaman” jelas pria yang kerap disapa Hans. Hans beserta peserta diskusi menyepakati bahwa pendidikan itu penting, ketika pendidikan penting maka pendidikan merupakan hak yang dapat dituntut oleh semua orang.
General Agreement Trade in Service (GATS), merupakan perjanjian dibawah World Trade Organization (WTO) yang menaungi liberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya adalah pendidikan. “Dimana saat itu, GATS merupakan salah satu syarat agar Indonesia diberikan pinjaman untuk bebas dari krisis moneter pada tahun 1998, yaitu dengan cara menandatangani perjanjian ini. GATS inilah yang merupakan cikal bakal dari neoliberalisasi pendidikan di Indonesia” jelas pria berperawakan jangkung itu.
Alat hukum yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU DIKTI) UU Nomer 12 Tahun 2012, yang lahir pada zaman pemerintahan SBY. Inti dari UU DIKTI ini adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berubah menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), dimana Universitas tidak memiliki kewenangan otonomi dalam bidang akademis maupun non akademis. “Yang menjadi masalah adalah ketika
Universitas tidak memiliki otonomi dibidang non-akademis, terutama dalam bidang keuangan,” tutur Hans selaku Sekretaris Jenderal FMN, “semakin jelas bahwa negara melepaskan tanggung jawabnya dibidang pendidikan” ujarnya.
FMN sendiri menolak adanya UU DIKTI, karena semenjak undang-undang tersebut ditetapkan, biaya pendidikan naik sekitar 50-100%. Perhitungan Uang Kuliah Tunggal (UKT) ini didasari oleh tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi indeks kemahalan wilayah. “Mau gak mau, biaya perkuliahan kita akan terus meningkat. Salah satu cara mengatasi akar permasalahan ini adalah melawan UU DIKTI itu sendiri” tegasnya.
Pihak SEMAR pun turut berbicara melalui perwakilannya, ia menjelaskan bahwa Harga pendidikan tinggi karena munculnya neoliberalisme dunia. Awalnya negara-negara yang menganut “social democracy” atau negara kesejahteraan seperti swedia mengratiskan pendidikan, tetapi pada suatu saat negara tersebut mengalami kemunduran dan beberapa tokoh mengatakan bahwa negara kesejahteraan sudah tidak relevan, sehingga muncul neoliberalisme.
Neoliberalisme sangat mengagung-agungkan pertubuhan ekonomi, dan sudah masuk kedalam lembaga-lembaga internasional seperti World Bank dan IMF.
Neoliberalisasi dunia termanivestasi dalam Washington Consesus, yaitu kebijakan ekonomi untuk merubah sistem yang menimpa negara krisis, Salah satu poinnya adalah pendidikan diserahkan kepada Pasar, sehingga pendidikan bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab swasta. “Ketika Pendidikan menjadi tanggung jawab pihak swasta, pihak Swasta akan mencari untung yang menjadikan biaya pendidikan tersebut menjadi mahal” jelas pria berkacamata tersebut.
Pihak SEMAR UI pun mempunyai cita-cita jangka panjang yaitu pendidikan di Indonesia, khususnya Perguruan Tinggi (PT) baik PTN maupun PTS, diambil alih oleh negara. Jika hanya PTN yang diambil alih oleh negara, maka biaya pendidikan di PTS semakin mahal. Ketika PTN biayanya murah, dijamin bisnis Bimbingan Belajar (Bimbel) yang harganya sangat mahal dan didikannya langsung diarahkan untuk masuk PTN akan menjamur. “Ketika Bimbel harganya mahal, yang bisa membayar hanya orang berduit, sama saja pemerintah membiayai orang-orang berduit untuk pendidikan. Orang-orang yang tidak mengikuti bimbel akan masuk PTS yang harganya mahal” tutur pria yang sedang menempuh pendidikan jurusan komunikasi.
Selain itu Pihak SEMAR juga menginginkan adanya penerapan sistem pengelolaan koperasi, dimana semua elemen masyarakat kampus bisa menyuarakan pendapat dan menyuarakan keinginannya serta tidak lupa untuk mengetahui hak dan memenuhi kewajibannya sebagai masyarakat kampus.
Senada dengan ketiga organisasi sebelumnya, PEKA UI melalui perwakilannya, Maulidiya Muliawati, menjelaskan bahwa liberalisasi pendidikan merupakan upaya meningkatkan kepentingan pasar. “Ketika kepentingan pasar memasuki sistem pendidikan akan membuat pendidikan sebagai ranah komersialisasi sehingga mengabaikan pendidikan sebagai hak semua orang” tutur perempuan yang mengambil jurusan Kesehatan Masyarakat tersebut.
PEKA sendiri memberikan beberapa solusi seperti mentransparasi Rencana Kerja Anggaran (RKA), dimana RKA sendiri merupakan acuan siapa mendapatkan besaran berapa selama tahun anggaran berjalan. “Permasalahannya RKA masih tidak transparan dan kurang melibatkan mahasiswa dalam proses pembuatannya itu sendiri” ucap mahasiswa angkatan 2015 tersebut.
Dalam diskusi tersebut terlihat juga beberapa calon pemimpin pejabat kampus UI itu sendiri, seperti calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) baik fakultas maupun universitas, calon ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM UI) dan calon ketua Majelis Wali Amanat (MWA), yang turut hadir untuk memaparkan pendapat mereka mengenai hak terhadap pendidikan, dan bagaimana cara mereka untuk mengawal isu pendidikan ini ketika mereka akan menjabat.
Diskusi malam itu ditutup dengan perembukkan jadwal untuk membahas lebih dalam lagi dan mengundang kembali lebih banyak lembaga-lembaga internal yang ada di UI terkait masalah pendidikan yang ada di UI dan menyatukan kesepahaman terkait isu pendidikan.
Reporter: Nadia Mg. |Editor: Deden AQ