Melihat Sisi Lain Sejarah Indonesia-Belanda
Narasi sejarah yang terjadi antara Indonesia dan Belanda seringkali hanya muncul dari versi pemerintah Indonesia. Keberimbangan narasi dinilai penting karena memungkinkan muncul perspektif lain yang selama ini tidak diketahui.
Aspirasionline.com – Selama ini, narasi sejarah mengenai hubungan antara Indonesia dan Belanda dalam Perang Agresi Militer Belanda sepanjang 1945-1950 selalu ditampilkan dari versi Indonesia. Hal ini menimbulkan ketidakberimbangan narasi sejarah karena minimnya perspektif Belanda yang dapat dipelajari. “Padahal keberimbangan versi sejarah itu penting, agar semua berimbang,” ujar Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah HISTORIA.
Guru besar sejarah Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong menjelaskan, Perang Agresi Militer Belanda 1945-1950 lebih mengedepankan para pemuda dari Belanda yang mengikuti wajib militer melawan para pemuda dari Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya. Ini terlihat jelas dari 220.000 jumlah tentara dikirim ke Indonesia, hanya 1.000 orang yang memang bergelut menjadi militer profesional.
Hal tersebut terjadi karena pada saat itu pemerintah Belanda masih menganggap Indonesia adalah negara muda yang mudah untuk ditaklukan kembali pasca merdeka dari Jepang. “Disinilah sisi kolonialistis-imperialistis Belanda muncul,” ujarnya dalam diskusi buku “Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950” yang berlangsung di Erasmuis Huis, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jakarta Selatan, Selasa (13/9) lalu.
Namun, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Wahid menambahkan, para wajib militer ini seperti ditipu oleh pemerintahnya sendiri. Mereka menganggap pekerjaannya di Indonesia akan ‘disambut lebih hangat’ karena hanya bertemu orang-orang dari cengkraman fasisme Jepang. Realitanya mereka tidak mengetahui bahwa negara yang dituju, Indonesia, telah mendeklarasikan diri menjadi bangsa yang merdeka.
Buku berjudul “Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950” ini hadir sebagai narasi sejarah alternative. Penulisannya didasarkan atas dokumen-dokumen pribadi seperti surat, buku harian, buku kenangan, dan memoar para veteran wajib militer Belanda yang dikirim ke Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda sepanjang tahun 1945-1950.
Gert Oostindie, sang penulis buku, mengatakan bahwa penulisan buku tersebut memang berangkat dari ‘ego dokumen’. ‘Ego dokumen’ tersebut berdasarkan dokumen-dokumen yang ditulis langsung oleh para serdadu Belanda pada saat bertugas di Indonesia. Hal tersebut mewakili perasaan zaman saat itu yang lebih mendekati realita, pun secara teknis dan metodologis lebih kuat.
Ini merupakan sebuah jalur alternatif dalam penulisan buku sejarah, karena hal-hal personal seperti itu dapat digunakan sebagai sumber penulisan. Semua berdasarkan dari dokumen-dokumen pribadi milik serdadu Belanda, yang mana sejauh ini penulisan sejarah sering kali hanya berangkat dari lisan.
Buku tersebut memaparkan bagaimana para wajib militer pada saat itu merasa frustasi, takut, dendam, malu, bosan, marah, hingga merasa asing dan kurang dihargai ketika kembali ke Belanda. “Ternyata ada juga yang marah, sedih, hingga malu yang dirasakan oleh para serdadu Belanda. Perspektif itu yang selama ini kita tidak ketahui, dan itu sangat penting,” tutup Bonnie Triyana.
Reporter : Haris Prabowo | Editor: Hersa K.