Aspirasionline.com – Untuk memecahkan permasalahan di Papua yang tak kunjung usai, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Jaringan Damai Papua mengadakan seminar nasional dengan tema “Tindak Lanjut Kebijakan Presiden Jokowi Untuk Papua Tanah Damai”, pada Rabu (27/1) yang bertempat di Auditorium Utama LIPI, Jakarta Selatan.
Seminar ini menghadirkan enam narasumber yaitu Mayjen TNI. Yoedhi Swastono, Mayjen TNI Kaharuddin Wahab, Hilmar Farid, Tantowi Yahya, Latifah Anum Siregar, dan Victor C. Mambor serta dimoderatori oleh Poengky Indiarti.
Acara dimulai dengan pembukaan dari Tri Nuke Pudjiastuti selaku Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI. Ia mengungkapkan bahwa ada beberapa catatan penting mengenai Papua selama tahun 2015, yaitu diantaranya adalah masih terjadinya kekerasan di Papua, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan pembangunan sosial ekonomi di pulau-pulau yang belum terealisasi secara optimal.
“Bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, tingkat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua adalah yang terburuk diikuti oleh Papua Barat,” ujar Tri. Ia juga menambahkan, isu di Papua makin mengemuka di tingkat regional seperti dalam forum regional di kawasan Asia Selatan atau dikenal dengan Melanesia Spearhed Group (MSG) dan Pasific Island Forum (PIF).
Atas permasalahan Papua yang tak kunjung usai, muncul pertanyaan, “Apakah Pemerintah Indonesia tidak mempunyai Grand Strategy untuk menyelesaikan Papua?”. Karena itulah, Tri mengharapkan agar seminar nasional ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya pemerintah untuk mengupayakan pembangunan perdamaian dan kesejahteraan di Papua dan Indonesia.
Adriana Elisabeth dalam sambutannya menegaskan pentingnya Grand Strategy dalam menyelesaikan masalah di Papua. Grand strategy tersebut harus bersifat simultan (serentak), komperehensif (luas dan lengkap), dan sinergis (gabungan beberapa pendekatan). Menurutnya, tanpa Grand Strategy bagi Papua, maka kebijakan pembangunan ekonomi dan perbaikan kota di Papua akan tetap berjalan sendiri-sendiri.
Selain itu, beliau juga menegaskan pentingnya dialog dalam menyelesaikan masalah Papua. “Dialog adalah media untuk bertemu dan membahas soal secara bersama, membentuk pemahaman bersama, dan membangun pra sistem rekonsiliasi”, ujarnya.
Adriana menuturkan alasan pentingnya dialog bagi Papua adalah karena dialog merupakan bagian dari demokrasi lokal Papua. Selain itu, dengan dialog kita dapat memahami Papua dari sudut pandang Papua. Dialog juga dapat membangun kepemilikan bersama, dan alasan lainnya adalah karena Papua merupakan elemen penting dalam rumah Indonesia.
Tidak hanya Adrian yang menegaskan pentingnya dialog. Para narasumber pun sangat setuju dengan hal ini. Menurut mereka memang dialog adalah penyelesaian terbaik dalam penyelesaian masalah Papua.
Tantowi Yahya mengungkapkan bahwa persoalan utama dari ketidakselesaian persoalan Papua ini adalah ketidakpercayaan. Diperlukan kerja besar serta kerja kolektif untuk mengembalikan kepercayaan ini.
“Jadi solusi daripada ini kalau menurut saya ya adalah dialog. Dialog itu memang suatu keniscayaan. Karena dialog- dialog inilah pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama dapat mendengar apa sesungguhnya keinginan rakyat Papua asal yang mewakili Papua dalam hal ini adalah benar,” ujar Tantowi.
Lathifah Anum Siregar mengatakan bahwa modal komunikasi yang dimiliki Presiden Jokowi sudah cukup baik. Tapi persoalannya adalah orang-orang yang diharapkan untuk berdialog. Lathifah berharap bahwa orang-orang yang dikirim untuk berdialog adalah orang-orang yang berkompeten dan bukan asal ambil.
Reporter : April Mg. |Editor : Fitri Permata S.