Saatnya Sekolah Gelisah

Nasional


Aspirasionline.com – “Cukup mengejutkan, sekaligus menghawatirkan,” kata Retno Listyarti, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), ketika ditanya soal hasil survei SETARA Institute.

Saat itu Retno berbincang dalam program Agama dan Masyarakat KBR, Rabu (8/4/2015) malam, bersama Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institute.

Survei SETARA menyebutkan, 1 dari 14 siswa SMA bersimpati terhadap dan mendukung ISIS. Survei ini dilakukan di 114 sekolah negeri di Jakarta dan Bandung, Maret lalu. Ada 6 responden setiap sekolah, sehingga totalnya ada 684 siswa. Meski mayoritas responden mendukung Pancasila, namun Bonar meminta masyarakat  memusatkan perhatian pada yang menolaknya. Bonar menyebutkan ada jawaban dari para siswa yang patut dicermati.

“Ada yang mengatakan model ISIS bisa diterapkan di Indonesia,” kata Bonar, “ada 9,1 persen responden yang simpati pada perjuangan ISIS, dan 8,5 persen responden menginginkan Pancasila diganti berdasarkan ideologi keagamaan.”

Survei ini dilakukan di sekolah negeri dan bukan berbasis agama. Di sekolah jenis ini justru paham radikalisme lebih subur. Sebab, kata Bonar, para siswa ini tidak memiliki pemahaman yang dalam terhadap agamanya sehingga mudah disusupi. Apalagi, kelompok radikal sengaja menyasar usia SMA.

“Usia SMA itu rentan. Karena ada jiwa penasaran dan rasa pemberontak,” pungkas Bonar.

Retno yang juga Kepala Sekolah SMAN 3 Jakarta ini menanggapi, “ini peringatan kepada kementerian dan sekolah, untuk membangun sekolah yang mendukung kebhinekaan.”

Sebetulnya, gejala-gejala ini sudah terlihat sejak pemerintahan era SBY. Saat itu, Retno melakukan survei bersama Yayasan Cahaya Guru dan menemukan sekolah negeri mulai condong ke agama mayoritas di lokasi tersebut. Di daerah mayoritas muslim, ada kewajiban memakai baju muslim dan membaca Al-Quran. Di daerah mayoritas kristiani dan hindu, jilbab justru dilarang.

“Seharusnya sekolah negeri mendorong kebhinnekaan,” ujar Retno.

Praktik agama tidak boleh diwajibkan atau dilarang, karena harus dijalani dengan kesadaran. Retno mengungkapkan pengalamannya di sekolah. Kelompok radikal bisa masuk lewat ekstrakulikuler, dan mereka mendulang simpati lewat memenuhi kebutuhan siswa.

“Siswa perlu bimbingan belajar, mereka bantu. Siswa perlu dukungan emosional, mereka beri. Sehingga siswa merasa dekat,” jelasnya.

Ke depan, pemerintah perlu melihat kembali kurikulum di sekolah. Sebab materi saat ini cenderung memaksa siswa menghapal. Dia menyayangkan mata pelajaran Pancasila yang kebanyakan berbicara tentang otonomi daerah. Padahal, Pendidikan Pancasila, Sosiologi, dan Sejarah adalah pelajaran yang tepat untuk siswa belajar kebangsaan, toleransi, dan perdamaian.

Perubahan kurikulum sendiri adalah perjalanan panjang. Karena itu, pencegahan paling praktis bisa dimulai dari guru-guru dan kepala sekolah. Para pengajar harus melihat siswanya, mungkin ada yang menolak hormat bendera atau menyanyikan Indonesia Raya.

“Guru-guru harus peka. Kalau di sekolah ada pembicaraan kafir dan toghut; ada apa ini?” tambah Retno.

Guru-guru harus kreatif agar materi pelajaran bisa dihayati oleh siswa. Pengalaman kebhinekaan dan pemahaman toleransi pun harus ditanamkan di benak guru. Kata dia, ketika guru-guru toleran, dia bisa mengajak murid melakukan hal yang sama.

Sebab Retno percaya, “memperbaiki guru adalah memperbaiki murid sekaligus.”

 

Editor: Malika

Sumber : KBR68H

Ilustrasi Foto: Antara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *