19 Tahun Otda, Hanya 10% Daerah Yang Mandiri
Aspirasionline.com- KBR, Jakarta – April ini, perjalanan Otonomi Daerah di Indonesia berusia 19 tahun. Ini terhitung sejak adanya peresmian daerah percontohan penerapan otonomi daerah berbasis kabupaten kota pada 25 April 1995 di masa Presiden Soeharto.
Sayangnya, otonomi daerah yang disertai dengan pemekaran wilayah belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Menurut Robert Endi Djaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dari 542 kabupaten/kota dalam provinsi, hanya 10 persen daerah yang sudah siap untuk mengelola otoritas yang besar.
Daerah yang dianggap siap menjalankan otonomi daerah itu misalnya Aceh Barat, Sleman, Banyuwangi, DIY, Kalimantan Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Ia menjelaskan, permasalahan kesenjangan antara otoritas, kapasitas dan integritas, merupakan penyebab dari banyaknya permasahan yang melilit daerah-daerah pemekaran.
“Otoritas itu kan kekuasaan, urusan yang banyak dan uang yang mengalirpun banyak. Nah, uang dan kekuasaan yang jumlahnya banyak mengalir dalam waktu yang sangat singkat ke daerah, yang kapasitasnya dibangun tidak memadai dan integritasnya lemah, itu sangat bahaya,” ujarnya saat berbincang bersama KBR pada program Daerah Bicara, Rabu (15/4/2015).
“Bahayanya akan mengarah pada in-efisiensi atau korupsi. Aktornya bisa kepala daerah atau DPRD, karena mereka euphoria dengan uang yang begitu banyak. Jadi, otoritas tersebut harus dilihat lagi apakah memang harus sebesar itu?”tambahnya.
Faktor lain yang mempengaruhi pembangunan otonomi daerah, menurut Endi adalah karena negara kita sudah lama membangun dalam sistem yang sentralistik. Hal ini membuat sulit bagi daerah untuk membangun otonomi yang akuntabel dan efektif.
Ia menambahkan, pada 2025 Indonesia akan punya 44 provinsi, dan total sekitar 550 kabupaten kota.
Revisi UU Pemekaran Daerah
Terkait hal ini, revisi undang-undang pemekaran daerah yang baru akan semakin ketat. Menurut Prof Djohermansyah Djohan, bekas Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, kalau dulu pengajuan otonomi daerah bisa melalui tiga pintu, yaitu DPR, DPD dan pemerintah. Sekarang hanya dibuka satu pintu saja, yaitu pintu pemerintah atau eksekutif, karena dianggap yang paling mengerti soal pemekaran daerah.
“Kita akan memakai design besar penataan daerah. Ada syarat yang harus dipenuhi. Dilihat dari jumlah penduduk, luas wilayah dan memiliki berapa kecamatan ? Namun itu pun tidak langsung dijadikan Undang-Undang, hanya dijadikan Peraturan Pemerintah yang disebut daerah persiapan.”
Ia menambahkan, selama ini belum pernah ada daerah otonom yang dihapus atau digabungkan dengan daerah induknya kembali setelah di dianggap gagal menjalankan perannya. Hal ini disebabkan banyak pihak yang dirugikan, terutama para pejabat yang sudah kadung menduduki kursi empuk.
“Siapa yang berani bikin UU untuk menghapus otonomi daerah? DPR dan eksekutif saja gak berani. Jadi, tidak terjadi kebijakan atau penggabungan daerah, karena tak ada yang mau jabatannya hilang. Maka di undang-undang baru nanti, akan kita cegah jangan sampai daerah yang tidak memenuhi kapasitas dan persyaratan lolos jadi daerah otonomi,” ujarnya.
Editor: Quinawaty Pasaribu
Sumber: KBR68H