Perempuan Aceh Bicara Qanun Jinayat

Nasional

Aspirasionline.com – Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah khusus di Aceh tentang Syariah Pidana terus mengundang kontroversi. Aturan itu keluar pada akhir September lalu, atau beberapa hari sebelum anggota parlemen Aceh yang baru saja dilantik.

Khairani Arifin dari Komnas Perempuan Aceh mengatakan, Qanun Jinayat patut diragukan kelayakannya untuk membawa keadilan di dalam masyarakat. Dari empat unsur peraturan yang ideal, yakni dari sisi substansi, kesiapan aparat penegak hukum, kesediaan sarana prasarana, dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, Qanun masih jauh dari sempurna.

Berkaca dari pelaksanaan empat qanun di Aceh selama ini, yakni Qanun 11 (akidah akhlak), Qanun 12 (perjudian), Qanun 13 (khamr) dan Qanun 14 (khalwat), terbukti penerapan di lapangan masih morat-marit. Bahkan, banyak kasus kekerasan justru muncul dari qanun yang dijanjikan akan membawa rahmat bagi masyarakat.

“Dalam praktik-praktik penerapan syariat islam, khususnya untuk 4 qanun tersebut, kita melihat banyak sekali kendala dalam penerapannya di lapangan, sehingga berdampak pada ketidakadilan kepada masyarakat, khususnya perempuan dan juga anak-anak,” kata Khairani.

Dari sisi substansi, isi qanun-qanun di Aceh banyak bermasalah dan tak jarang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Destika Gilang Lestari mengatakan etidakadilan paling gamblang tampak dalam mekanisme penghukuman korban perkosaan.

Di dalam qanun, korban harus membuktikan bahwa dia benar-benar diperkosa, padahal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak berkata demikian. Korban akan mendapat dua kali hukuman bila nantinya pelaku bersumpah tidak melakukan perkosaan. Pelaku akan dibebaskan setelah mengucapkan lima kali sumpah.

“Kalau dia (pelaku) menyangkal, saya akan terkena dua kali hukuman, hukuman cambuk karena saya mengaku saya diperkosa. Kedua, saya dianggap melakukan tindak pidana lain, yaitu pencemaran nama baik, yaitu pencemaran nama baik, saya mengalami dua kali jadi korban, kemudian dikorbankan sekali lagi,” tutur Gilang

Qanun juga terbukti tidak adil terhadap anak. Menurut Khairani, anak diletakkan sebagai subyek hukum yang sama dengan orang dewasa. Anak korban tindak perkosaan, apalagi yang mengalami gangguan mental, akan sangat kesulitan untuk membuktikan diriya diperkosa.

“Dia (anak) nggak bisa bersumpah bahwa dia diperkosa, karena kondisi dia, dia bukan subyek hukum yang bisa mempertahunggungjawabkan perbuatan pidananya,” ujar Khairani.

KontraS Aceh mencatat, sejak 2011 sedikitnya 245 perempuan Aceh mengalami tindak kekerasan selama pelaksanaan empat qanun tersebut. Koordinator Kontras Aceh Destika Gilang Lestari mencontohkan kasus kekerasan terhadap seorang perempuan di Pidie. Korban dan ibunya dipukuli oleh warga karena dituduh melakukan khalwat (Qanun 14). Kasus terbaru terjadi pada akhir tahun 2013, anak perempuan di Langsa dituduh melanggar Qanun 11 mengalami kekerasan fisik hingga harus dioperasi.

Sementara pihak aparat kepolisian juga tidak berpihak pada korban. Polisi justru mendorong korban untuk berdamai saja dengan para pelaku. Korban makin tersudut karena sikap pasrah, berdamai dan menerima merupakan syarat agar mereka diterima lagi di tengah masyarakat. Pihak KontraS atau lembaga advokasi lain tidak bisa berbuat banyak, karena korban cenderung memilih opsi damai.

“Pada saat dia melapor ke polisi, permintaan kepolisian itu untuk melakukan damai dengan masyarakat. Agar tidak menjerat masyarakat, dia bisa kembali lagi ke desanya. Korbannya saat ini juga nggak mendapat keadilan apapun. Kita sudah mencoba untuk melakukan pendampingan, pengadvokasian, tapi kita nggak bisa memaksa korban. Pilihan korban itu untuk berdamai,” kata Gilang.

Ini juga menunjukkan masih lemahnya pemahaman penegak hukum dalam menerapkan qanun. Dikatakan Gilang, polisi atau wilayatul hisb dalam qanun jinayah nantinya akan dituntut menjadi penyidik. “Polisi kita juga belum punya pengalaman melakukan ini. Mereka terbiasa melakukan penyidikan pada kasus-kasus pidana biasa. bukan kasus pidana syariat Islam. kepolisian juga masih dalam kebingungan, ini bagaimana cara menerapkan syariat Islamnya,” tuturnya.

Dan juga dari sisi hakim, banyak rotasi dan mutasi hakim dilakukan. Ini berarti ada kemungkinan pengadilan qanun akan dilakukan oleh hakim-hakim dari luar Aceh yang tidak paham konteks. Rangkaian ketidaksiapan aparat hukum ini berpeluang besar menimbulkan banyak ketidakadilan dalam penerapan.

Melihat karut marut qanun di Aceh, Gilang dan Khairani mendesak semua pihak untuk mengkaji ulang dan mengkritisi isi dan penerapan selama ini. Upaya pengajian bukan dalam rangka untuk menolak syariat Islam. Bagaimanapun, qanun merupakan produk politik, produk manusia, dan sangat terbuka akan kesalahan.

Sumber : KBR68H

1 thought on “Perempuan Aceh Bicara Qanun Jinayat

  1. perkenalkan nama saya diah utari prasetia, saya mahasiswi pascasarajana UNIMEd sedang menyusun mengenai perempuan aceh terhadap pelaksanaan qanun hukum jinayat, saya ingin bertanya bagaimana posisi perempuan dalam qanun hukum jinayat? kenapa harus tidak dibedakan hukuman cambuk antara laki-laki dan perempuan?
    apa dan bgaiaman implementasi qanun hukum jinayat ini terhadap perempuan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *