Dualisme Pimpinan DPR
Pertemuan dua pesaing politik negeri ini, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, ternyata tak banyak berpengaruh pada aktifitas politik di parlemen. Partai koalisi pendukung Jokowi, belakangan bermanuver membentuk pimpinan DPR tandingan. Kubu ini mendapuk Ida Fauziyah sebagai pimpinan DPR tandingan. Sementara wakilnya adalah Syaifullah Tamliha, Effendi Simbolon, Dossy Iskandar dan Supriyadi.
“Ini bagian dari proses carut-marut sidang paripurna. Pimpinan dianggap berpihak, bukan menjembatani dua kubu untuk dicari titik temu. Ketika paripurna ke empat, pimpinan mengatakan ada usulan dari fraksi PPP tentang alat kelengkapan dewan, tetapi PPP membatah itu ditawarkan ke peserta paripurna. Padahal seharusnya ditanyakan ke PPP apakah setuju atau tidak, itulah kejadian balik meja,” Kata Patrick Rio Capela salah satu anggota DPR dari koalisi Indonesia Hebat, dalam program Pilar Demokrasi, Senin, (03/11).
Menurut Rio ini merupakan bentuk protes dari Koalisi Merah Putih yang dinilai melanggar undang-undang MD3. Sesuai undang-undang tersebut, pembentukan ketua komisi dan badan kelengkapan lainnya harus diusulkan setengah jumlah keseluruhan fraksi, ditambah 1 fraksi lainnya.
“ Mereka membentuk alat kelengkapan tanpa mengikuti undang-undang,” kata Rio.
Meski kecewa, menurut Rio Capella, Koalisi Jokowi di Parlemen tak ingin kasus ini berlarut-larut. Saat ini koalisi pendukung pemerinah masih melakukan lobi untuk mencapai kesepakatan. ” jalan keluar harus dicari, harus duduk satu meja yang di inisiasi pimpinan DPR resmi. Kita harus berbicara bagaimana formulasi yang tepat sehingga suasana DPR untuk memperjuangkan nasib masyarakat bisa berjalan dengan baik, tanpa mengedepan ego kelompok masing – masing,” terang Rio.
Pembentukan pimpinan DPR tandingan ini menuai banyak kritik. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Formappi Lacius Karus mengatakan, seharusnya KIH menunggu terlebih dahulu dan memantau kinerja Koalisi Merah Putih, KMP. “Ketika koalisi merah putih sudah maju menentukan alat kelengkapan, ikuti perkembangannya dan lihat kinerja mereka. Dari sana, KIH bisa ambil alih dan membuka ruang menempatkan anggotanya,” kata Lacius.
Lacius mengatakan, masih ada peluang KMP akan pecah, ditengah proses itu. KIH bisa masuk dengan lobi-lobinya. “Di merah putih kecendrungan pragmatisnya masih tinggi. Saya tidak lihat korelasi ideologis, hanya kepentingan pragmatis yang menyatukan. Dengan kebijakan pragmatis akan ada peluang akan pecah,” kata Lacius.
Menurut Lacius masyarakat tak ingin melihat drama parlemen ini berlarut-larut. Untuk menyelesaikannya pimpinan partai politik harus turun langsung untuk konsolidasi. “Yang ingin kita tunggu aksi pimpinan parpol di parlemen. Karena kepentingan politik ini itulah yang menentukan warna koalisi di parlemen,” terang Lacius.
Dengan turunnya pimpinan partai politik, Lacius menilai akan menjadi jurus ampuh menyelesaikan kasus ini. Karena kata dia, dalam tradisi politik di Indonesia, Ketua Partai masih didewakan. “Partai politik di Indonesia masih sangat mendengarkan suara pimpinan parpol. Semua masih bisa berubah jika pimpinan parpol punya pemikiran yang sama untuk bersatu dan membangun Indonesia,” tutup Lacius.