Memakna Ulang Kemerdekaan
Aspirasionline.com – Arsad bisa saja mengikuti upacara kemerdekaan setiap 17 Agustus, tapi di dalam hatinya, Arsad belum merasa merdeka. Alasannya dia ceritakan dalam perbincangan Agama dan Masyarakat KBR, Rabu (13/8) mala.
Arsad adalah penganut kepercayaan Perjalanan, yang percaya pada Tuhan dan pentingnya sejarah diri. Penganut Perjalanan tersebar di 13 provinsi, tapi terkonsentrasi di Bandung dan Bekasi, Jawa Barat.
Keyakinan ini terdaftar sebagai kepercayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di kolom agama KTP Arsad tertulis kepercayaan, yang efeknya adalah catatan panjang diskriminasi.
Arsad terganggu karena imannya dianggap sebagai budaya dan didaftarkan di Kementerian Kebudayaan dan bukan Kementerian Agama. “Toh kita juga kan percaya pada Tuhan. Kenapa tidak dinaungi? Kenapa harus dibedakan dengan departemen? Itu yang harus ditinjau kembali,” ujar Arsad.
Pernikahan antar penghayat pun pernah dianggap terlarang oleh pemerintah lokal. “Di Indramayu ada pernikahan secara kepercayaan, Pemda malah bilang kecolongan,” ceritanya.
Seperti Arsad, Firdaus juga punya kekhawatiran yang sama. Firdaus adalah penganut Ahmadiyah yang juga mengalami diskriminasi serupa, malah lebih banyak. Kelompok Ahmadiyah kesulitan mengisi administrasi kependudukan mulai dari KTP, pernikahan, hingga kematian.
“Bertahun-tahun Ahmadiyah di Mataram tidak punya KTP. Dampaknya mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan,” kata Firdaus yang juga dari dari Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB).
Firdaus mencatat ini terjadi hampir di seluruh negeri. “Dari Aceh sampai Papua, dari waktu ke waktu selalu ada kekerasan kepada kelompok-kelompok yang dianggap minoritas di tempat tersebut. Yang minoritas di satu tempat bisa jadi mayoritas di tempat lain. Hak-hak yang terlanggar juga sangat beragam.”
Padahal menurut Arsad masyarakat tidak begitu mempersoalkan perbedaan keyakinan. “Karena kita masih bersaudara begitu. Meski berbeda tapi kami mengenal dan lahir di situ. Jadi tidak terlalu ada penekanan,” kata Arsad.
Firdaus mengatakan hal serupa. Kata dia, masyarakat sebetulnya terbuka dengan perbedaan agama. Namun selalu ada kelompok tertentu yang tidak menyukai ketenteraman. “Jadi pertama ada isu-isu, fitnah-fitnah. Bisa jadi ada orang datang, atau orang pergi dan kembali kemudian membawa provokasi baru. Sampai 6 bulan sampai 1 tahun itu dikembangkan. Baru kemudian muncul serangan fisik. Tidak tiba-tiba,” kata Firdaus.
Kondisi rawan di masyarakat ini diperparah dengan pemerintah yang tak acuh. Firdaus menyebut pemerintah melakukan “politik cuci tangan.”
Firdaus mencontohkan GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi yang tidak juga dibuka, meski sudah dinyatakan sah oleh Mahkamah Agung. “Saya pikir ini masalah kemauan dari pemerintah pusat untuk mengambil sikap,” jelasnya.
Bagaimana pun kondisi itu, Firdaus memilih optimis menghadapi situasinya. Dia menemukan beberapa catatan baik, seperti pencatatan KTP dan surat nikah bagi penganut Ahmadiyah. “Kemudian juga upaya Menteri Agama pak Lukman ini, kemauan dia untuk berdialog dengan berbagai kelompok, dia juga bicara terbuka soal Baha’i. Saya kira ini perlu diapresiasi.,” ujar Firdaus.
Firdaus menambahkan, Bukan soal perbaikan UU atau penegakkan hukum, tapi juga ada keterbukaan sikap dari aparat negara dan tokoh masyarakat untuk berdialog mengenai perbedaan.”
Firdaus mengatakan pemerintah mendatang punya pekerjaan rumah toleransi yang tidak sedikit. Pihaknya mengusulkan 3 hal untuk dilakukan. “SKB 3 Menteri soal Ahmadiyah dicabut, gereja yang berkekuatan hukum tetap segera dibuka, kemudian administrasi dibuat mudah,” jelas Firdaus.
Kata Arsad, masyarakat bisa mulai menghapus prasangka. “Sebelum dia menghakimi, sebaiknya dia tahu dulu apa yang dilakukan penghayat atau Ahmadiyah. Tahu dulu,” jelas Arsad.
Arsad dan Firdaus berharap pemerintah yang baru bisa menciptakan negeri impian, di mana warganya hidup damai dan tanpa diskriminasi. Sebuah negara yang menerima Arsad dan Firdaus sebagai dirinya sendiri. Keduanya bisa mengikuti upacara bendera dengan khidmat, tanpa rasa dongkol di dada, karena keduanya merdeka dan dilindungi sebagai sesama warga negara.
Sumber : KBR68H