Mempermudah Akses Kaum Marginal dan Perempuan dalam Pemilu 2014
Aspirasionline.com – Suara Perempuan dan kaum marginal, masih rentan dimanipulasi. Mereka selalu menjadi korban dengan apa yang disebut sebagai money politic, rentan terhadap mobilisasi dan cenderung hanya menjadi pemilih tradisional. Lapisan ini selalu menjadi sasaran bagi-bagi uang atau sembako, jelang pemilu maupun pemilukada. Kondisi ekonomi yang sulit dan pemahaman yang kurang, membuat mereka terdorong memberikan hak pilih demi selembar 50 ribu rupiah atau iming-iming lainnya.
Sementara akses untuk dapat menggunakan hak politiknya dengan baik makin sulit untuk mereka yang bekerja di sektor informal dan buruh industri. Dan tahapan pemilu 2014 terus berjalan. Lalu bagaimana caranya agar perempuan dan kaum marginal lebih punya kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya dengan lebih baik? Tema inilah yang menjadi pokok bahasan program Pilar Demokrasi yang diselenggarakan KBR68H dan Tempo TV, bersama narasumber Risma Umar (Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan), Betty Epsilon Idroos (Ketua Pokja Sosialisasi KPU Jakarta), Dr Karnadi Msi (Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta).
Menurut Risma, yang disebut kaum marginal adalah warga negara laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki akses terhadap ruang pengambilan keputusan. Tidak punya akses untuk pelayanan publik, dalam hal ini kesehatan, pendidikan, akses untuk menyampaikan apa yang dipikiran dan rasakan. “Dalam konteks pemilu, kaum marginal ini tidak memiliki banyak akses dalam menentukan hak politiknya,” jelas Risma.
Karnadi menambahkan di lingkungan pendidikan, dari sepuluh mahasiswa berprestasi, sembilan di antaranya adalah perempuan, tapi kenapa menjadi tidak signifikan dalam politik. Menurut Karnadi, ini adalah soal pembelajaran dan strategi. “Bicara soal pemilukada dan melihat keterwakilan perempuan, masih dirasa kurang, bukan karena perempuan tidak memiliki ketertarikan, tapi masalah orientasi dan konten. Padahal di lingkungan sosial, budaya, sampai dunia bisnis banyak perempuan yang sukses,” ujar Karnadi.
Betty memperkuat kembali, soal fenomena masyarakat kita yang apatis terhadap politik. Itu terjadi berdasarkan realita di lapangan, yang kemudian membuat mereka menarik diri. “UU itu sudah jelas, pendidikan politik adalah tugas parpol, KPU punya tugas pendidikan pemilih. Kalau kita memberi pendidikan pada satu laki-laki itu artinya kita hanya mengajarkan pada satu orang, tapi kalau mengajar pada perempuan, kita ngajarin satu keluarga atau bahkan satu generasi,” papar Betty.
Risma melanjutkan, karena keterbatasan pengetahuan membuat kaum marginal mudah dimobilisasi dan dipecah di antara mereka. Semua pihak punya tanggung jawab memberi informasi, walau sekarang KPU sebagai pelaksana. “Yang menarik adalah, ketika pendidikan diberikan secara dari rumah ke rumah. Dampaknya, mereka terlibat secara signifikan menggunakan hak politiknya dan tidak mau lagi menerima beras, gula, atau gerak jalan, bahkan dijanjikan naik haji,” tegas Risma.
Karnadi berpendapat, parpol masih belum masuk dalam tahap mendidik, hanya sebatas mengajak. Kalau rakyat dilibatkan, hanya menjadi pelengkap. “Harusnya parpol mendidik penuh kesadaran, sehingga rakyat berdasar kesadaran itu tahu tujuannya. Kalau sekarang, terkesan siapa yang bisa memberikan sesuatu, mereka yang dapat suara,” imbuh Karnadi prihatin.